Penulis
Intisari-Online.com - Kiprah dokter yang berjiwa sosial kembali mengemuka setelah viral plang nama dokter S. Wijaya menjadi viral di media sosial.
Di tengah mahalnya biaya pelayanan kesehatan di Indonesia, keberadaan profesi seperti dokter memang selalu menjadi sorotan.
Apalagi jika para dokter terlibat isu komersialisasi kesehatan.
Akan tetapi sesungguhnya tidak sedikit dokter-dokter yang berjiwa sosial tinggi.
Dalam berpraktik, mereka tidak menetapkan tarif, bahkan menggratiskan jasa pengobatan kepada pasiennya.
Nama-nama di bawah ini adalah beberapa di antaranya.
Dr. Lo Siaw Ging di Solo
Pada usianya yang ke 83 tahun, dr. Lo masih setia memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di Solo dan sekitarnya.
Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini sesungguhnya anak seorang juragan tembakau di Magelang, tapi ia tidak mau berbisnis dan memilih mengabdi untuk masyarakat.
Dr. Lo termotivasi memberi pengobatan tanpa menetapkan tarif untuk mengikuti seniornya, dr. Oen Boen Ing, yang di masa silam juga dikenal sebagai dokter berjiwa sosial di Solo.
Dr. S. Wijaya di Indramayu
Namanya mendadak terkenal setelah plang praktik dokternya menjadi viral di media sosial, pertengahan November 2017.
Sayangnya, dokter Wijaya yang digambarkan sudah berusia lanjut ini tidak ingin identitasnya dipublikasikan oleh media.
Pasien yang berobat ke dr. Wijaya cukup membayar seikhlasnya dengan memasukkan uang ke dalam sebuah kotak.
Di ruang tunggu praktiknya juga tersedia barang-barang bekas layak pakai, mulai dari pakaian hingga mainan anak-anak hasil sumbangan.
Setiap pasien boleh mengambil satu barang.
Dr. FX Sudanto di Abepura, Papua
Dikenal sebagai “dokter seribu”, karena ia selalu menarik bayaran sekitar seribu rupiah.
Mulai bertugas di Papua sejak 1982, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini memang tidak ingin menarik bayaran yang tinggi terhadap para pasiennya.
Kadang malah ia menggratiskan sekalian.
Sudanto berpraktik setiap hari dari pukul 08.00 – 12.00 WIT dan bisa melayani lebih dari 100 pasien setiap hari.
“Kasihan, yang kekurangan biasanya banyak yang menderita sakit,” tutur Sudanto yang kini sudah berusia 76 tahun ini.
Dr. Michael Leksodimulyo di Surabaya
Orang-orang menyebutnya dokter kaum gelandangan, karena bersama Yayasan Pondok Kasih, ia selalu mengadakan pengobatan gratis bagi kaum miskin di seputar kota Surabaya.
Awalnya keluarganya menentang ia berpraktik untuk orang miskin, tapi dr. Michael bersikeras.
Kini bahkan tiga anaknya juga berencana mengikuti jejaknya menjadi dokter dan mengabdi untuk orang miskin.
“Karena dalam sumpah seorang dokter ada hak kaum miskin yang menjadi bagiannya yang harus dia tunaikan,” kata Michael, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado ini, tentang kesediaannya menjadi dokter kaum miskin.
Dr. Lie Agustinus Dharmawan di Rumah Sakit Terapung
Di bawah naungan Yayasan DokterSHARE, dr. Lie bersama Rumah Sakit Terapung yang berada di atas kapal, selalu berkeliling ke daerah-daerah terpencil di Indonesia terutama di bagian Timur, untuk memberikan pengobatan gratis.
Tarlahir dengan nama Lie Tek Bie di Padang pada 1946, dr. Lie menempuh pendidikan kedokterannya hingga spesialisasi bedah di Jerman.
Sebelumnya ia juga dikenal sebagai aktivis gereja dan perhimpunan Indonesia-Tionghoa.