Penulis
Intisari-Online.com – Kedua penerbang pesawat sipil-militer ini sebenarnya cuma berniat bernostalgia, terbang formasi dengan pesawat Dakota Wamena - Jayapura.
Ternyata aksi keduanya malah mendatangkan hiburan buat para penumpang. Belakangan sang penerbang pesawat sipil kena marah dan hukuman. Apa pasalnya?
Gado-gado adalah makanan khas Indonesia yang dapat kita temukan di mana saja. Berasal dari Jawa, makanan satu ini dibikin dengan mencampurkan segala macam bahan menjadi satu.
Uniknya, dengan satu bumbu, gado-gado jadi bercita rasa khas dan dapat diterima oleh orang dari kalangan mana saja.
(Baca juga: (Video) Momen Dramatis saat Pilot Pesawat Tempur Selamatkan Diri dari Pesawat Mereka yang Terbakar)
Barangkali termasuk gado-gado juga bila penerbang-militer ditugasi untuk menerbangkan pesawat sipil. Demikian juga sebaliknya apabila penerbang sipil ditugasi membantu menyelesaikan kepentingan militer.
Kendati secara filosofi ada perbedaan karakter antara penerbang sipil dan militer.
Falsafah penerbang militer adalah menyelesaikan misi secara cepat dan efisien. Dengan prinsip itu pendidikan penerbahg militer didasarkan pada pembentukan keterampilan terbang yang peka terhadap ancaman musuh.
Ditambah dengan pembekalan manuver terbang yang sarat dengan taktik penyerangan dan teknik penyelamatan.
Di sisi lain karakter para penerbang sipil terbentuk di atas fondasi kenyamanan dan keselamatan penumpang.
Keterampilan terbang para pilotnya lebih diutamakan pada terbang presisi dengan manuver terbang yang terbatas.
Maka bila para penerbang itu ditugasi untuk terbang di luar lingkungannya, dapat dikatakan telah terjadi penerbangan gado-gado sipil-militer, yang bisa memunculkan keanehan meski cukup mengesankan untuk dikenang.
Lewat celah pegunungan
Tahun 1975, bersama dua orang rekan kopilot, saya ditugasi untuk menerbangkan pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA), yang berkedudukan di Biak, Irian Jaya. Seluruh operasi penerbangan komersial di daerah itu memang dilaksanakan oleh MNA.
Kami mendapat tugas melaksanakan semua rute penerbangan dengan pesawat Dakota atau C-47. Isi penumpangnya rata-rata 30 orang.
Pada waktu itu 24 Agustus 1975, sesuai jadwal saya harus melaksanakan rute penerbangan Biak - Jayapura - Wamena - Jayapura - Biak.
Seperti biasanya, pagi-pagi pukul 06.00 kami lepas landas dari Biak dengan kondisi kabin penumpang penuh. Meski gerimis kecil, cuaca masih cukup terang untuk lepas landas. Rutenya relatif mudah karena hampir seluruh medan yang akan dilalui terdiri atas dataran rendah dan pantai.
Biarpun hampir sepanjang rute hujan tak henti-hentinya mengguyur dan ada gunung di sebelah kiri, wilayah ini sudah sangat saya kenal dan banyak check point yang memudahkan kami masuk ke landasan Jayapura.
Setelah mendarat dengan aman, istirahat dan makan, serta mengisi bahan bakar, kami lanjutkan dengan penerbangan Jayapura – Wamena. Di udara banyak kami jumpai awan cumulus yang belum jadi, menyebar di udara, namun cuaca bersahabat.
Saya putuskan terbang agak tinggi agar dapat menilai jalan masuk ke dalam daerah pegunungan Jayawijaya, tempat beradanya Kota Wamena.
(Baca juga: Pilot Pesawat yang Jatuhkan Bom Atom di Jepang Hingga Renggut Ratusan Ribu Nyawa Mengaku Tak Pernah Menyesal)
Memang untuk masuk ke Wamena, jauh sebelumnya para penerbang sudah harus menentukan celah mana yang akan dipakai sebagai jalan masuk. Oleh karena kami terbang agak tinggi, maka untuk mendapatkan check point di bawah saya sedikit mengalami kesulitan.
Mengetahui posisi akhir sebelum masuk ke dalam pegunungan menjadi penting, agar pilot mendapatkan arah yang jelas andaikata di pintu masuk pegunungan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang akari memaksa pesawat untuk kembali.
Kemungkinan terburuk harus selalu diperhitungkan, sebab sisi kiri-kanan jalan masuk berupa tebing yang tinggi. Di samping itu cuaca di daerah bergunung itu dapat berubah sangat cepat.
Pas saat kami dapat menentukan posisi akhir, tiba-tiba terdengar ada pesawat Dakota lain (Dakota TNI AU), yang melaporkan baru saja meninggalkan celah pegunungan itu dan juga tengah menuju Wamena. Saya menduga jarak kami kira-kira 11 menit.
Saya pun membuka komunikasi dengan pesawat itu dan menanyakan cuaca di daerah itu. .
"Cukup bagus," jawab kapten pesawat, yang temyata teman seangkatan saya.
la malah balik bertanya, "Mau ke mana sehabis ke Wamena?"
"Kembali ke Jayapura," jawab saya.
la lantas menyahut, "Kalau begitu nanti sama-sama, kita terbang formasi saja", katanya.
"Oke", jawab saya mantap.
Begitulah, pada waktu saya memasuki jalur pendaratan di landasan Wamena, seketika terlihat pesawat teman saya tadi. Ia baru saja mematikan mesin setelah selesai mendarat. Begitu kami sama-sama di darat, sambil istirahat kami membuat arahan singkat mengenai teknik formasi yang akan dijalani.
Saya dipersilahkan menjadi wing man dan teman saya sebagai leader. Tugasnya mencari jalan pada wilayah dengan kandungan awan sedikit. Agar tidak kelelahan saya boleh berganti-ganti posisi.
Dari wing man kanan berpindah ke belakang pesawat leader, lantas ke wing man .kiri dan terakhir kembali lagi ke wing man kanan. Posisi terakhir ini sekaligus untuk memudahkan waktu berada di down wind (jalur pendaratan) dan saat mendarat di Jayapura.
Jadilah kami tinggal landas bersama-sama dari Wamena. Pada posisi siap di landasan pacu, pesawat TNI AU berada di sebelah kiri agak ke depan. Sementara pesawat saya di sebelah kanan agak ke belakang.
Para petugas di lapangan dan orang-orang lain di sekitar menara terlihat terpana mempernatikan kami. Saya sama sekali tidak menyadari kalau apa yang kami lakukan sungguh merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi.
Kemungkinan mereka heran, ada apa dua pesawat sama-sama di landasan?
Selesai dengan prosedur before take-off check teman TNI AU saya membuka percakapan, "Merpati, are you ready for take off?"
Saya jawab, "Affirmative we are ready."
Pesawat TNI AU itu kemudian membuka gas dan pesawat mulai melaju di landasan untuk kemudian mengangkasa.
Sebetulnya setelah tiga detik kemudian saya juga harus mulai membuka gas, namun karena saat itu bukan dalam formasi yang sesungguhnya, baru enam detik kemudian saya melakukannya.
Memang akan memakan waktu lama untuk dapat "mencapai" pesawat leader, namun di dalam pengarahan sebelumnya kami telah sepakat, setelah tinggal landas, pesawat leader berputar ke kanan, maksudnya agar wing man mudah untuk mencapai posisi formasi.
Dalam terbang formasi, kesulitan pesawat leader adalah mencari jalan sebaik-baiknya supaya wing man dapat mempertahankan posisi dan selalu dapat mengikuti leader.
Oleh karena awan tersebar dimana-mana, maka arah terbangnya menjadi tidak lurus. Bisa ke kanan atau ke kiri. Apapun yang dibuat oleh leader, wing man harus tahu persis posisinya dan harus tahu persis arah yang benar.
Saya sudah berbagi tugas dengan kopilot, urusan terbang saya yang menangani, sedangkan urusan pengecekan mesin dan Iain-lain menjadi tanggung jawabnya.
Melambai-lambaikan tangan
Di tengah penerbangan, saya rasa-rasakan, ada banyak gerakan di kabin penumpang. Saya minta mekanik pesawat untuk mengecek ke belakang.
Laporan yang saya dapatkan, memang betul, banyak penumpang yang lalu-lalang mendekati jendela, untuk melongok pesawat leader yang ada di depan. Mereka bahkan melambai-lambaikan tangan, meskipun barangkali tidak akan terlihat oleh penumpang yang ada di pesawat leader.
Jadi kesulitan saya bertambah, selain harus menyesuaikan dengan pesawat leader, saya juga wajib menyesuaikan dengan gerakan penumpang di kabin. Soalnya lalu-lalang para penumpang pada pesawat Dakota; bisa mempengaruhi gerak dan titik berat pesawat.
Pada posisi lima menit sebelum sampai di Jayapura, pesawat leader mengontak Menara Kontrol Sentani.
"Sentani tower, kami formation flight. Terdiri atas pesawat TNI AU dan MNA, posisi lima menit dari Sentani."
Menara Sentani agak lama tidak kunjung menjawab, mungkin si petugas merasa kaget, bingung, atau aneh. Belum pernah ada formasi pesawat militer dengan sipil. Setelah beberapa saat, keluar juga jawabannya.
"Roger, call again on down wind and keep contact all the way through."
Setelah pesawat leader selesai dengan pengecekan sebelum mendarat, pesawat membelok menuju posisi akhir untuk persiapan pendaratan.
Kami pesawat wing man memperpanjang jalur pendaratan untuk mendapatkan selisih jarak yang cukup panjang dengan pesawat leader. Pada saat kami siap mendarat, pesawat leader masih berada di landasan, kami pun memberi tahu bahwa kami siap mendarat.
Namun, tiba-tiba Menara melarang kami untuk mendarat.
"Negative, run way is not clear, over shooting and call again on down wind."
Padahal pesawat kami sudah sangat dekat dengan landasan pacu dan kami tidak melihat bahaya apa pun. Bahwa masih ada pesawat di landasan pacu, itu memang sudah diketahui, dan itu sesuai prosedur pendaratan formasi. Maka kami tetap melakukan pendaratan dan selamat.
Selanjutnya kami sama-sama menuju tempat pesawat berhenti. Kami tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, juga tidak ada teguran dari Menara. Bahkan saat keluar dari pesawat, para penumpang tampak gembira dan saling bersalaman.
Rupanya mereka terkesan dengan terbang formasi yang baru saja mereka alami.
Oleh karena itu saya sama sekali tidak menyangka, setibanya di Biak, saya langsung dipanggil oleh General Manager perusahaan penerbangan kami, diberi tahu bahwa saya berbuat kesalahan, yang perlu segera dilaporkan kepada Direktur Utama (Dirut).
Sejauh itu saya sama sekali tidak diberi tahu macam kesalahannya. Saya menduga, mungkin ada hal lain yang mengharuskan saya berangkat ke Jakarta secepatnya. Pada kesempatan pertama ada pesawat menuju Jakarta, saya diperintahkan ikut dan langsung menghadap Dirut. .
Sampai di depan pintu masuk ruang Dirut pun saya masih belum menyadari kesalahan saya. Oleh karena itu dengan tenangnya saya mengetuk pintu dan masuk.
Begitu pintu ditutup, semprotan kemarahan langsung membanjir. Saya sama sekali tidak diperintahkan duduk, sehingga tetap dalam berdiri dengan sikap sempurna. Beberapa kata yang masih saya ingat adalah,
"Jangan mentang-mentang kamu tentara, jangan mentang-mentang kamu bisa. Terbang formasi itu berbahaya, against regulation!. Apalagi kamu mendarat, masih dalam posisi formasi, run way belum clear."
Setelah macam-macam semprotan kemarahan yang lainnya, baru saya diperintahkan untuk duduk. Selanjutnya nasihat-nasihat diberikan yang intinya saya harus dapat menyesuaikan karakter dan gaya terbang di dunia penerbangan sipil.
Akhirnya beliau menjatuhkan hukuman grounded bagi saya selama dua minggu. Artinya, saya dilarang terbang selama dua minggu.
Sekeluarnya dari ruangan Dirut, hati saya malah lega. Lega karena sudah selesai dimarahi dan lega juga karena bisa tinggal di rumah selama dua minggu di Jakarta. Maklumlah, biasanya maksimum hanya satu minggu.
Betapapun sepanjang perjalanan pulang, saya masih setengah heran, mengapa beliau bisa semarah itu? Dia 'kan juga penerbang militer.
Namun, akhimya saya tersenyum sendiri, menyadari bahwa saya telah terbang gado-gado sipil-militer. Mestinya saya juga harus paham peraturan penerbangan sipil.
(Ditulis oleh Mursiddi, MBA, instruktur penerbang pesawat Hercules C-130. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 2002)