Mengenang Kepahlawanan si ‘Dadungawuk’ Ignatius Slamet Riyadi yang Suka Melawak dan Berkelakar

Moh Habib Asyhad

Penulis

Memang, Pak Met, panggilan akrab Slamet Riyadi, senang mendengarkan Iawakan dan kelakar yang sehat, karena merupakan salah satu hiburan di tengah-tengah ketegangan pertempuran.

Intisari-Online.com – Badannya kekar. Pandangan matanya tajam. Kulitnya hitam manis. Suaranya kecil dan termasuk orang yang tidak begitu banyak bicaranya.

Rambutnya berpotongan tebal. Dari sebab itu Slamet Riyadi juga mendapat julukan "'Dadungawuk". Langkah jalannya pendek.

Itulah sedikit lukisan jasmaniah Ignatius Slamet Riyadi. Ia putera Solo asli.

Dilahirkan pada tanggal 26 Djuli 1926. Tetapi gugur dan dimakamkan jauh dari tempat di mana ia dibesarkan.

(Baca juga:Kisah Kepahlawanan Easy Eddy dan Butch O'Hare, Bapak-Anak yang Hanya Melakukan Hal-hal Terbaik untuk Orang-orang di Sekitarnya)

Ketika itu umurnya baru 24 tahun. Pangkatnya Letnan Kolonel dengan jabatan Komandan operasi Angkatan Perang Republik Indonesia di Maluku Selatan.

Dalam komentar berita tertanggal 5 Agustus 1950 dikatakan dengan kata-kata yang sangat bersahaja tetapi jelas, bahwa pengangkatan Letkol Slamet Riyadi dalam jabatannya itu "semata-mata berdasarkan atas keahlian dan pengalaman yang didapatnya selama ini" dan tindakan itu dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Sebenarnja “Pak Met", demikian panggilannya di kalangan anak buah, waktu itu juga menjabat Komandan Brigade V yang berkedudukan di Surakarta, tetapi hanya satu batalyon dari wilajahnya itu yang menyertai keberangkatannya ke Ambon; karena Angkatan Perang yang bertugas di Ambon terdiri dari batalyon-batalyon yang didatangkan dari berbagai tempat.

Waktu itu jabatan Panglima Teritorium Indonesia bagian Timur dipegang oleh Kol. Kawilarang.

Sebagai komandan, Pak Met memang disegani dan dihormati anak buahnya.

Tegas dan memegang teguh disiplin. Sersan Mayor Sudoto, bekas seorang anak buahnya menceritakan bahwa Pak Met selalu mengawasi dengan teliti cara dan sikap anak buahnya dalam memberi hormat.

Penerangan dan instruksi yang diberikannya diterima dengan kepuasan: “maknyos", demikian terasanya penerangan itu dalam hati, kata Serma Doto, yang juga mendjadi “anak emas" Slamet Riyadi karena pandainya melawak.

Memang, almarhum Pak Met senang mendengarkan Iawakan dan kelakar yang sehat, karena merupakan salah satu hiburan di tengah-tengah ketegangan pertempuran.

(Baca juga:John F. Kennedy, Pahlawan Perang yang Nyaris Tewas di Lautan Setelah Dihantam Kapal Perang Jepang)

Ketegangan pertempuran meresapi sungguh diri Slamet Riyadi.

Ini ternyata dari ceritera Peltu Sumardjo berikut ini: menjelang melakukan serangan ke Jatingaleh di front Semarang, Pak Met tidur di sebuah rumah yang jendelanya sudah tanpa daun.

Di tengah-tengah tidur tiba-tiba ia meloncat keluar sambil berteriak dan jatuh di luar, tepat menimpa Sudoto, yang kebetulan tidur di bawah jendela.

Ternyata Pak Met mimpi telah melakukan serangan ke Jatingaleh.

Pertempuran Jatingaleh pada tahun 1946 membawa kenangan pahit bagi Pak Met, karena dalam pertempuran ini tidak sedikit anak buahnya yang gugur, sehingga dia menangis.

Di front Semarang inilah Slamet Riyadi mulai terkenal. Ceritera-ceritera bahwa dia dapat menghilang karena cepatnya dia bergerak dari satu posisi ke posisi Iainnya, tiba-tiba muncul di sini, tiba-tiba muncul di sana.

Ia memimpin serangan-serangan di depan dengan biasanya didampingi oleh satu peleton tetap; di front Semarang biasanya peleton Giyoko dan di daerah Solo dalam clash II peleton Hadi.

Giyoko sendiri gugur di Jatingaleh.

Ceritera-ceritera bahwa Slamet Riyadi tahan peluru ditimbulkan karena anak buahnya tidak pernah melihat komandannya terkena cedera sedikitpun juga oleh Iogam maut itu di front Semarang maupun front Solo, meskipun selalu berada di barisan paling depan dan orang-orang di sekitarnya menjadi korban.

Tetapi ketika ia juga berada di depan dalam memimpin serangan merebut benteng "Victoria" di Ambon, logam maut bersarang di bagian perutnya dan gugurlah ia akhirnya beberapa waktu kemudian.

Sebenarnya sebelum terjadinya peristiwa menyedihkan ini, Letkol. Slamet pernah terkena peluru lengan kanannya di suatu tempat antara Passo dan Tulehu; dua tempat yang terkenal dalam pertempuran Ambon.

Di Passo, yang terletak di bagian yang paling kecil dari pulau Ambon, APRI tertahan kurang lebih sebulan lamanya oleh tentara RMS dalam usahanya merebut kota Ambon.

Terjadinya pertempuran sengit sebenarnya di Waitatiri, lebih kurang 3 km di depan Passo.

Tetapi Passolah yang merupakan pusat pertahanan RMS dan menutup jalan menuju Ambon.

Namun sebulan kemudian, tanggal 3 November 1950, Passo sendiri yang mempunyai pertahanan berlapis-lapis, akirnya jatuh juga.

Dengan demikian dapat dikatakan jalan ke kota Ambon terbuka.

(Baca juga:Apakah Brigjen Supardjo Bersalah dalam G30S? Ini Jawaban Mantan Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie)

Pada hari itu pula Pasukan I di bawah pimpinan Achmad Wiranatakusuma telah berhasil mendarat di selatan kota dengan , dilindungi tembakam dari laut dan malamnya, menurut laporan wartawan Nasional, sudah dapat bernapas panjang serta melepaskan lelah di dalam benteng Njeuw Victori sesudah pertempuran seru. Mereka lena.

Dengan berpakaian TNI dan berbendera Merah Putih, Baret Merah dan Hijau dari RMS dapat merebut kembali benteng, sehingga keadaan menjadi kacau.

Pertanyaan ‘mana kawan, mana lawan’ berlangsung hingga esok harinya, tanggal 4 November, ketika Pasukan Induk di bawah pimpinan Slamet Riyadi masuk kota Ambon.

Pada hari inilah waktu asar Overste Slamet di luar benteng berseru kepada pasukannya, “Mari, mari kita terus masuk benteng!”

Apa yang terjadi? Waktu ia berada di tengah simpang empat di dekat itu tembakan terdengar … tangan Overste Slamet meraba perutnya, tetapi bibirnya terus berseru, “Mari, mari maju..!”

Kata-kata ini masih terus terdengar dari mulutnya hingga jam sembilan malam, meskipun dokter telah memberi injeksi penenteram hingga beberapa kali.

Kini Overste Slamet Riyadi dimakamkan di Taman Pahlawan “Kapaha” di kota Ambon, setelah beberapa tahun lamanya dimakamkan di Tulehu di tengah-tengah pohon-pohon kelapa dan di tengah-tengah makam rekan-rekannya yang gugur juga dalam pertempuran Ambon.

Ketika makam di Tulehu yang sangat bersahaja itu digali, maka selain tulang-tulangnya yang masih utuh antara lain adalah rosario dan sepatunya.

Kota Solo sendiri, yang sangat menghormati dan banyak berhutang budi kepadanya pada waktu clash II, tidak dapat menyimpan jenazahnya di dalam buminya.

Hanya jalan besar yang membujur Timur Barat di tengah-tengah kota kini mengabadikan namany.

Rumah orangtua Overste Slamet yang tidak jauh letaknya dari menara sirene kampung Jogosuran, di bagian Selatan kota Solo juga sudah tidak semarak lagi; sebagian disewakan dan sebagian didiami oleh putera-putera kakak perempuan Slamet Riyadi, yang juga merupakan satu-satunya saudaranya sekandung.

Jadi kini hanya tinggal kakak inilah yang masih hidup dari keluarga Bapak Prawiropralebdo, ayah Slamet Riyadi.

Kakak ini mempunyai seorang anak laki-laki berumur satu tahun, yang selalu dikatakannya “mirip” dengan almarhum adiknya.

Semasa hidupnya, Pak Prawiropralebdo juga seorang militer.

Dalam buku pokok Slamet Riyadi ketika bersekolah di MULO Bruderan Solo jabatan Pak Prawiro ditulis: “gepensioneerde hospitani-soldast”, dengan penghasilan £342 setahun.

Berdasarkan penghasilan ini, Slamet ditarik uang sekolah £4,80 sebulan.

Kata “Riyadi” tidak terdapat di belakang nama “Slamet” dalam buku pokok itu. Jadi namanya hanya ditulis singkat Rd. Slamet.

Dan di depan nama itu juga belum ada nama baptis atau nama permandian “Ignatius”; karena ia baru dipermandikan menjadi Katolik pada tanggal 24 Desember 1949 bersama dengan seorang ajudannya Jokomulyo yang juga memilih nama Ignatius.

Ignatius Loyola dahulu juga seorang opsir bangsa Spanyol yang kemudian mendirikan perkumpulan para imam “Serikat Yesus”.

Saksi permandian Overste Slamet juga seorang perwira, waktu itu berpangkat Letnan: Ignatius Sastrosudiro. Kini Mayor pensiun.

Kalau melihat angka-angkanya sewaktu duduk di kelas satu dan kelas dua MULO, Slamet Riyadi ternyata murid yang cukup baik; terutama dalam mata pelajaran eksakta.

Angkanya untuk aljabar sewaktu di kelas satu: 8; 8; 9. Di kelas II kwartal pertama 8.

Ketika Jepang masuk menduduki Indonesia, Slamet memang baru duduk di kelas II MULO satu kwartal dan kemudian melanjutkan ke SMP.

Angkanya untuk ilmu pasti pun baik, demikian pula untuk ilmu bumi (8,8,9,8) dan sejarah: di kelas II, 9.

Selama setahun di kelas I, ia hanya tercatat sakit dua kali dan tidak masuk karena alasan lain satu kali.

Dari sebab itu angka kerajinannya pun baik, yakni 8. Ia juga mendapat angka 8 untuk kelakuan.

Slamet Riyadi diterima sebagai pelajar MULO dari HIS “Arjuna” Solo tanpa melalui voorklas.

“Ini merupakan suatu tanda bahwa ia dipandang cakap,” demikian kata seorang Bruder, yang dahulu juga mengajar di bruderan Solo, tetapi sudah tidak ingat lagi akan Slamet Riyadi sewaktu menjadi pelajar MULO.

Kalau kita mengikuti riwayat hidup Slamet Riyadi semenjak sekolahnya sampai ia gugur di medan pertempuran sebagai pahlawan bangsa, maka jelas bahwa pada pokoknya almarhum memang seorang yang bersahaja, tekun, berani, dan tegas.

Kepahlawanannya adalah kepahlawanan yang murni, tidak hanya sekadar “pahlawan” karena kebetulan gugur di dalam pertempuran!

(Ditulis oleh P. Swantoro. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1964)

Artikel Terkait