Find Us On Social Media :

Tjipto Mangunkusumo: Si Kromo Bernyali Singa Yang Suka Menolong Orang Miskin

By Yoyok Prima Maulana, Kamis, 2 November 2017 | 12:00 WIB

Intisari-online.com - Anak priyayi yang lebih suka dipanggil si kromo atau anak petani. Darahnya selalu mendidih saat melihat kaum kecil teraniaya. Bintang penghargaan Ratu Belanda pun dipasangnya di pantat sebagai bentuk protes.

“Keteplok, keteplok, keteplok..."Bendi,kereta roda dua dilarikan kuda tampan. Lebih tegak lagi orang yang bertengger mengekang kendali di belakangnya. Tekap-tekop telapak kudanya menyusuri Jalan Raya Demak pada tahun 1907. Membelok lorong kecil, lenyap dari pemandangan.

Dia bukan pangeran Demak, bukan tuan kontrolir. Pakaiannya seragam rakyat jelata: blangkon (ikat kepala) biru, baju hitam. Banyak orang heran melihat keberaniannya. Mereka berbisik, "Dokter Jawa yang berani. Manusia baik yang suka menolong orang."

Sebaliknya orang kulit putih tersinggung. Gerutu mereka, "Si Jawa yang tak tahu diri. Manusia kurang ajar."

Dr. Soetomo melukiskan, "Seorang dari pahlawan kita yang luar biasa sentimennya, luar biasa teguh memegang cita-citanya, dan luar biasa pula perasaan kemerdekaannya."

Ayahnya guru HIS, sekolah dasar berbahasa Belanda untuk pribumi di Ambarawa, yang kemudian pindah ke Semarang, dan menjadi Kepala Sekolah HIS merangkap anggota Dewan Kota Praja. 

Sebagai keturunan Tjitrosoemo, guru agama Islam terkemuka, tidak mengherankan jika kehidupan agama meresapi keluarga Mangunkusumo yang dikaruniai sembilan orang anak: dua perempuan dan tujuh laki-laki.

Tjipto yang berhati keras seperti ibunya, adalah anak sulung. Hubungan batin dengan ibunya kuat, sampai-sampai dia menurut saja ketika dikawinkan dengan gadis pilihan ibunya.

Tatkala Tjipto masuk sekolah dokter (STOVIA) di Jakarta, usianya baru 13 tahun. Gurunya mengakui Tjipto sebagai een begaafd leerling, murid yang berbakat. Pelajar-pelajar STOVIA waktu itu diwajibkan mengenakan pakaian daerahnya masing-masing. 

Tjipto memilih pakaian Pak Tani. Dekil, kumal, rambutnya yang gondrong keluar dari ikat kepalanya. Dalam seragam tersebut sambil menatap guru-gurunya orang Belanda, dia menyatakan dengan resmi, "Aku anak rakyat, anak Si Kromo."

Kalau teman-teman lain berpesta atau bermain bola sodok, Tjipto sendirian membaca buku atau bermain catur. Pada setiap ceramah dia selalu hadir dan buka suara. Ini disaksikan misalnya oleh Salim (Haji Agus Salim) pelajar HBS yang sering bertandang ke STOVIA.

Sekali waktu himpunan pelajar STOVIA mengadakan rapat. Tjipto mengemukakan pendapat yang dianggapnya benar. Hadirin menolak pendapatnya. Bagaimana reaksi Tjipto?

Mengundurkan diri dari perkumpulan. Dia tak mudah menyerah kepada pendapat umum dalam membela kebenaran pendapatnya.