Geopatogen, ‘Hantu Penunggu’ si Biang Penyakit yang Dampaknya Setara dengan Radiasi Chernobyl

Ade Sulaeman

Penulis

Bahkan nenek moyang kita pun sejak kapan-kapan sudah menangkap gejala alam yang tak kasat mata ini. Contohnya penggunaan emas untuk memantek tiang-tiang bangunan keraton.

Intisari-Online.com – Berdiam di perut bumi, "makhluk" tak kasat mata itu sering dianggap sebagai hantu penunggu.

Namun di kalangan ilmuwan, ia dikenal sebagai medan geopatogen yang bisa mengganggu kesehatan. Biar tak mengganggu, dia perlu diberi "sesajen" garam, jeruk dan kertas koran.

Berikut ini laporan wartawan Intisari A. Hery Suyono. G. Sujayanto, I Gede Agung Yudana, dan koresponden Intisari B. Soelist., yang dirangkum oleh Al. Heru Kustara.

Diam-diam, kita punya musuh misterius yang sangat dekat dengan kita. Celakanya, lagi-lagi secara diam-diam, dia suka menyerang dan mengganggu kesehatan.

Badan rasanya tak enak padahal istirahatnya cukup, sendi-sendi tulang linu seperti menderita rematik, kejang kaki, atau susah berkonsentrasi.

Gawatnya lagi, dia pun bisa jadi biang kemandulan, menyebabkan impotensi bahkan tumor! Tidak kasat mata, biasanya dia bersembunyi di bawah tempat tidur atau di sekitar rumah.

Binatang apa pula biang penyakit itu? Ini bukan mau membawa Anda ke alam mistik-mistikan, tetapi jawabannya adalah sebuah kenyataan yang didasari ilmu pengetahuan.

Jika Anda merasakan gangguan kesehatan macam itu, jangan lalu cepat-cepat menuduh kalau ini akibat kelakuan hantu usil atau makhluk halus kurang sesajen.

(Baca juga:(FOTO) Pawang Hujan Ini Menggeser Hujan Tanpa Klenik!)

Menurut dr. Jatno, kebetulan seorang kardiolog dari Surabaya, segala gangguan itu bisa disebabkan oleh pengaruh medan elektromagnetik yang telah berlangsung lama.

"Aliran air bawah tanah yang lewat persis di bawah tempat tidur kita merupakan salah satu sumber medan geopatogen yang memancarkan gelombang elektromagnetik, di samping aliran dan peralatan listrik," kata Jatno yang mendalami masalah medan geopatogen.

Kalau mau dijelaskan, geopatogen itu berasal dari kata Yunani geos (bumi) dan pathogen (penyakit).

Jadi secara sederhana bisa diartikan keadaan atau hal-hal yang berasal dari bumi, biasanya berupa radiasi gelombang elektromagnetik atau radiasi lainnya (di luar radiasi sinar-X), yang menyebabkan sakit.

Sementara H. Handoyo Lukman MSC, seorang pastor yang bertugas di Purworejo, Jawa Tengah, menuturkan, "Medan itu muncul akibat perputaran bumi pada porosnya yang membuat planet bumi menjadi zona elektrostatis. Belum lagi adanya tumpukan mineral tertentu di dalam bumi, menjadikan energi elektrostatis di suatu tempat semakin tinggi."

(Baca juga: Di Tengah Laut, Secara Mistis, Sultan HB IX ‘Meramal’ Akan Terjadinya Bencana G30S)

Kalau badan sudah tidak bisa menetralisasi pengaruh medan itu, orang yang selalu berada di bawah pengaruh medan ini akan mengeluh tidak enak badan, lekas lelah dsb.

Kalaupun diperiksa secara medis, tidak akan ditemukan penyebabnya. Batas kemampuan manusia menerima pengaruh medan itu tanpa merasakan gangguan kesehatan apa-apa adalah 15.000 elektrovolt.

Emas dan makhluk halus

Sebetulnya fenomena medan geopatogen bukanlah barang baru. "la sudah dikenal sejak dimulainya sejarah manusia," tutur Romo Lukman.

Bahkan nenek moyang kita pun sejak kapan-kapan sudah menangkap gejala alam yang tak kasat mata ini.

"Orang dulu itu ternyata pintar. Leluhur kita telah memperkenalkan adanya tempat-tempat tertentu yang disebut atau dianggap wingit (angker), sangar dan entah apa lagi, namun sayangnya tanpa disertai keterangan yang jelas,” kata dr. Jatno.

Ingat musibah kebakaran Keraton Kasunanan Surakarta beberapa tahun lalu? Di reruntuhan puing sisa kebakaran ditemukan berkilo-kilo logam mulia atau emas.

Itu semua, kata dr. Jatno, dipakai untuk memantek tiang-tiang bangunan istana.

(Baca juga:'Tidak Ada Sesuatu yang Mistis di Segitiga Bermuda')

“Emas, meskipun logam, itu ‘kan berfungsi menolak (gelombang) elektromagnetik.” Makanya istana raja-raja dulu tiang-tiangnya dipanteki dengan emas.

Buat kebanyakan orang, medan geopatogen yang memancarkan gelombang elektromagnetik itu justru sering ditangkap sebagai adanya lelembut (makhluk halus) atau hantu penunggu di suatu tempat.

Sebaliknya, Romo Lukman malah menganggap hantu itu sebagai wujud simbolik dari adanya medan geopatogen.

Bukankah kenyataannya keberadaan hantu atau sebangsanya sering dikait-kaitkan dengan pohon besar? Dari sisi ini memang relevan, “Pohon besar dan berakar banyak tentu menyerap banyak air, sehingga medan geopatogen di situ tinggi,” ujar Romo Lukman.

Ketika ditemui Intisari di kediamannya, dr. Jatno memperagakan cara mendeteksi ada tidaknya medan geopatogen, seperti aliran air bawah tanah, menggunakan medium berupa antena radio dan ranting kayu berbentuk huruf Y (atau V).

Antena bekas yang dipasang pada lager (agar bebas gesekan) berputar sendiri ketika dipegang tepat di atas tanah yang di bawahnya terdapat aliran air.

“Semakin besar aliran, pusaran air atau pertemuan beberapa aliran air bawah tanah, akan semakin kencang antena itu berputar," katanya.

Berbeda dengan sistem antena, deteksi menggunakan ranting menyerupai huruf Y atau V dan juga pendulum lebih memerlukan kepekaan si pemakai.

"Namun, pendulum sebenarnya sudah tidak perlu lagi digunakan bila seseorang sudah dapat memusatkan perhatian secara penuh. Artinya, dapat menghubungkan pikiran dan sumber air secara langsung. Jadi sebenarnya pendulum itu jembatan antara pikiran dan sumber air," tutur Romo Lukman.

(Baca juga:Lewat Penelitian, Rahasia Kekuatan 'Mistis' Binahong Terungkap)

Di samping bakat dan minat, kata dr. Jatno menambahkan, kepekaan itu perlu latihan yang lama. Dengan memegangi kedua ujung ranting, orang berjalan mencari aliran air bawah tanah.

Ranting akan tertarik ke bawah dan pendulum akan berputar persis di suatu tempat yang mengandung aliran air bawah tanah.

"Tapi jangan melawan tarikan tersebut sebab kalau sampai ranting patah, si pemakai bisa jatuh," kata Jatno.

Selain antena, pendulum, atau ranting bercabang, masih ada beberapa medium lain untuk mendeteksi adanya aliran air bawah tanah, misalnya dengan pensil atau potongan bambu yang tumbuh di sekitar pusaran air.

"Dengan pensil justru lebih baik. Karena di dalam pensil terdapat unsur konduktor," jelas Jatno.

Kucing suka medan geopatogen

Medan geopatogen sebenarnya bisa dikenali awam cukup mudah. "Bila ada tanaman yang tumbuh condong tanpa ada alangan mengambil sinar matahari, atau tumbuh-tumbuhan yang pecah bercabang di bagian bawah tanpa direkayasa, biasanya di dekatnya ada medan geopatogen," kata dr. Jatno yang sehari-hari adalah staf laboratorium/UPF Emu Penyakit Jantung Fak. Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD dr. Soetomo Surabaya.

Selain itu ada juga tanaman yang senang hidup di sekitar medan ini, dan sebaliknya kendati sudah dirawat dengan optimal suatu tanaman terus mati.

(Baca juga:Di Amerika, Ayam Cemani Indonesia Dianggap sebagai Hewan Mistis)

"Sayangnya sejauh ini kami belum mendapatkan kepustakaan mengenai. masalah ini."

Dalam dunia binatang, kucing, lebah dan semut dikatakan suka pada medan elektromagnetik.

Mungkin itu sebabnya, kata dr. Jatno, kenapa anjing dan kucing tak pernah akur: kucing suka medan elektromagnetik, anjing tidak.

Kecuali aliran benda cair di dalam tanah (pada umumnya air), ada beberapa sumber medan geopatogen yang sebagian besar berupa gelombang elektromagnetik: kisi-kisi bumi, retakan geologis dan mineralogis serta timbunan mineral tertentu, kabel penyalur tegangan tinggi, radiasi layar komputer, dan Iain-lain yang bukan berupa gelombang elektromagnetik, misalnya radiasi radon (Rn).

"Yang tidak kalah penting adalah hampir semua peralatan modern menggunakan listrik, di mana listrik sendiri memancarkan gelombang elektromagnetik. Kabel penghantarnya akan membawa serta gelombang elektromagnetik yang ada di sepanjang aliran," jelas dr. Jatno.

Dan serentet sumber medan geopatogen itu, kata dr. Jatno, yang banyak mengganggu kesehatan adalah aliran air di bawah tanah dan listrik.

Manusia sebenarnya secara alamiah dapat mengenai medan geopatogen mengingat tubuhnya adalah konduktor yang baik, yang bisa meneruskan arus listrik.

Hanya tingkat kepekaan setiap orang berbeda. "Pada orang yang peka, pengaruh medan elektromagnetik ini ada yang langsung terasa, misalnya rasa dingin, kesemutan ataupun langsung timbul rasa pegal akibat spasme (kontraksi) otot. Orang yang tidak peka mungkin tidak merasakan apa-apa. Namun kalau proses berlangsung lama, maka akan muncul berbagai gejala seperti badan merasa tidak segar, tidur tak nikmat, kejang kaki, mudah sakit, gangguan sistem kardiovaskuler dan gangguan metabolisme, lalu gangguan pada sistem saraf pusat berupa sulit berkonsentrasi, gangguan hormonal berupa kemandulan atau impotensi, dan pada stadium akhir timbulnya tumor,” kata dr. Jatno.

(Baca juga:Suasana Mistis Air Terjun Sri Gethuk)

Penangkalnya garam dan kertas koran

Hingga kini, kata Jatno mengakui, belum ada satu pun keterangan yang bisa menjelaskan mekanisme gejala-gejala tadi.

Akan tetapi dia lalu menghubung-hubungkan antara pengertian medan biologis dengan medan elektromagnetik.

“Adanya medan biologis, yang memang terdapat pada makhluk hidup dan pengertian tersebut sudah disepakati para biolog ini telah lama dapat ditunjukkan dengan adanya resting membrane potential pada berbagai sel. Resting membrane potential pada otot bergaris berbeda dengan otot polos, lain dengan otot jantung ataupun sel otak. Interaksi antara medan elektromagnetik dan medan biologis inilah yang mempengaruhi timbulnya keluhan pada penderita itu.

Salah satu peneliti melaporkan, medan elektromagnetik ini dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh sehingga mengakibatkan orang mudah jatuh sakit.”

Selain pengaruh gelombang elektromagnetik, bisa jadi keluhan-keluhan fisik tadi disebabkan oleh energi kuantum yang mungkin terlepas.

Mengutip laporan dalam Majalah Physics Today edisi April 1989, dr. Jatno menyatakan kita tidak boleh meremehkan pengaruh interaksi antara bumi, udara, radon, dan rumah.

Keempat unsur ini merupakan sumber radiasi yang cukup besar, yang menurut pengarangnya setara dengan radiasi di Chernobyl.

Lalu bagaimana cara mengatasi musuh misterius tak kasat mata ini, jika benar ada aliran air di bawah tempat tidur atau ruang kerja?

“Salah satu caranya ya jauhi saja medan itu,” tutur Romo Lukman.

Atau, kalau tidak mungkin menjauhi atau menyingkir, bisa dinetralisasi dengan kompensator berupa kumparan tembaga yang dipasang di tempat tersebut untuk mengimbangi medan elektrostatis yang ada.

Cara yang sama juga dianjurkan oleh dr. Jatno, di samping cara lain yang sifatnya tradisional, mudah, dan murah.

“Yakni dengan menaruh garam, jeruk sitrun, kertas koran di bawah tempat tidur. Caranya, dua sendok garam ditaruh di lepek lalu jeruknya diletakkan di atasnya. Sedangkan empat lembar kertas koran digelar di bawah kasur. Setelah satu minggu, garam dan kertas korannya diganti, sedang jeruknya dapat dimakan, he…he…he…”

Pada kasus tertentu Jatno menganjurkan, di bawah tempat tidur diletakkan lempengan timbal atau timah hitam, dengan pengertian sinar-X saja tidak dapat menemus timbal, diharapkan begitu juga dengan gelombang elektromagnetik dan radiasi radon.

Soal ranjang atau tempat tidurnya sendiri memang yang terbaik dari kayu, sebab kayu tidak bersifat sebagai konduktor, tidak mengalirkan gelombang elektromagnetik.

Jika berobat, bawa denah rumah

Cara menangkal dengan garam, jeruk sitrun, dan lainnya itu mirip ubo rampe sesajen, hingga nampak berbau mistik atau klenik.

Namun menurut Jatno, cara yang dianjurkan oleh International Society of Biopathogen, dan nasihat yang katanya juga sering diberikan oleh orang-orang “pintar” di Jawa dan Bali itu rasional, meski belum jelas benar cara kerjanya.

Jatno mencoba menjelaskan hal itu. “Garam itu misalnya, kalau terurai akan menjadi Na dan Cl. Nah, air atau H2O dan garam itu ‘kan saling meniadakan. Na dengan OH dan Cl dengan H,” jelasnya.

Sedangkan kertas koran bermanfaat untuk mengisap radiasi radon dan ion-ion lain.

Yang perlu diingat, setiap tanda kesemutan dan sebagainya itu, kata Jatno, jangan serta merta dihubungkan dengan masalah geopati.

“Kita tetap harus berpikir rasional tentan apa yang sudah dicapai ilmu kedokteran. Siapa tahu gejala kesemutan itu karena diabetes.”

Dokter ahli penyakit jantung yang kria-kira sejak tahun 1986 secara intens mendalami masalah medan geopati ini bilang, cara-cara penanggulangan tadi bukan terapi standar (standar therapy) mengingat dunia kedokteran belum menerima hal ini.

Jadi, setiap pasien yang datang ke dokter seperti dirinya, tetap harus didiagnosis dan diobati menurut standar profesi kedokteran.

“Namun bila dengan segala cara tidak berhasil, pelan-pelanlah diterangkan akan kemungkinan pengaruh medan geopatogen.”

Begitu pun Romo Lukman yang empat hari seminggu (Senin, Selasa, Jumat, dan Minggu) buka praktik penyembuhan antara lain melalui “terapi” semacam ini sejak 1974, dan terakhir sekarang berpraktik di Jl. KHA. Dahlan no. 62A, Purworejo (Jateng).

“Biasanya mereka datang ke sini, sesudah pengobatan secara medis menemui jalan buntu,” tutur Romo Lukman yang tidak mau disebut sebagai paranormal karena praktik pengobatannya itu.

Berhubungan dengan medan geopatogen ini, setiap pasien yang datang berobat ke pastor berdarah Belanda itu diminta membawa denah rumah.

Maksudnya untuk deteksi awal kalau-kalau penyakit atau keluhannya ada sangkutannya dengan medan geopatogen di sekitar rumah pasien.

Bahkan, bak seorang dokter, Romo Lukman memeriksa dengan cermat data-data laboratorium, kalau ada foto rontgen si pasien, terutama pasien baru.

Dibantu dua orang asisten dan seorang sekretaris, setiap harinya ia sangguh melayani sekitar 70 – 80 pasien, yang datang dari segenap pelosok tanah air.

Pengobatan “alternatif” seperti a.l. dilakukan dr. Jatno dan Romo Lukman memang masih belum berterima, terutama di kalangan tertentu.

Lajunya roda perkembangan dunia kedokteran diakui akhir-akhir ini memang melesat dengan pesat.

Dunia kedokteran semata terpecah-pecah menjadi berbagai cabang ilmu pada tingkat organ, dan mungkin lama-kelamaan akan berkembang sampai ke tingkat sel, genetika, dan seterusnya.

Kendati kemajuan sudah sampai pada tingkat canggih, di mana tiap sentimeter bagian tubuh dapat diketahui bentuk anatominya, tak jarang para ahli medis dihadapkan pada kenyataan penyakit yang begitu rumit didiagnosis atau pengobatannya.

Bahkan sering di era serba komputer ini masih ditemukan kematian-kematian yang belum dapat ditentukan penyebabnya.

Siapa tahu salah satu pengobatan dengan pendekatan lain semacam ini bisa menjadi alternatif, meskipun sekarang masih serba berselimut kabut misteri.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Februari 1992)

Artikel Terkait