Leonard Bernstein, si Bintang Abadi yang Ternyata Biseksual

Moh Habib Asyhad

Penulis

Pernah diramal meninggal pada usia 36 tahun, nyatanya Leonard Bernsteinsanggup bertahan sampai 72 tahun. Tapi tahukah Anda kalau ia seorang biseksual?

Intisari-Online.com – Leonard Bernstein, konduktor dan komposer beken ini sudah tiada. Namun, dunia musik klasik akan terus mengenangnya. Apalagi sebagai genius ia mempunyai banyak keanehan.

Pernah diramal meninggal pada usia 36 tahun, nyatanya ia sanggup bertahan sampai 72 tahun. Tapi tahukah Anda kalau ia seorang biseksual ?

“Tuhan tahu, saya akan segera mati." Pernyataan ini seperti menjadi keluhan panjang pada saat-saat terakhir hayatnya.

Minggu, 14 Oktober 1990, Bernstein, jatuh direnggut penyakit jantung dan kanker paru-paru yang sudah lama menggerogoti tubuhnya.

(Baca juga:Perempuan Lebih Mungkin Menjadi Biseksual daripada Lelaki)

Menurut saksi mata Bright Sheng, komposer Chicago Lyric Opera yang datang menjenguk di apartemen Bernstein di Dakota, Manhattan, dua jam sebelum meninggal, tokoh kebanggaan warga Amerika ini masih sempat menikmati konser Yo Yo Ma di televisi sambil menggumamkan nada-nada Rachmaninoff Concerto yang sedang dimainkan.

Tak pelak, dunia musik klasik dirundung duka beruntun. Diawali dengan meninggalnya "Sang Kaisar" Herbert von Karajan, konduktor spesialis karya-karya Beethoven, pada bulan Juli 1989.

Lalu pada hari Minggu, 2 Desember 1990, Aaron Copland, komposer Amerika seangkatan Bernstein, menyusul.

Sebenarnya, jauh sebelum kematian Berstein, sudah ada petunjuk dunia musik klasik akan kehilangan tokoh pentingnya.

Pada konsernya yang terakhir di Tanglewood Music Centre, Massachusetts, 19 Agustus 1990,

Bernstein sudah nampak sangat lemah. Langkahnya gontai. Dengan napas terengah ia memaksakan diri menuju podium untuk memimpin pergelaran.

Bayangan kematian semakin terasa ketika enam hari sebelum meninggal ia mengumumkan akan segera pensiun dari panggung konser, karena alasan kesehatan.

"Saya akan segera mati," keluhnya berulang kali. Ia juga kelihatan amat gelisah. "Saya terlalu banyak merokok. Hampir setiap malam begadang. Saya ingin selalu berbuat banyak," sambungnya lagi.

Toh, ia masih bisa bertahan hidup. "Kalau tidak merokok pun katanya saya akan mati pada usia sekitar 35 tahun. Nyatanya saya terhindar dari nujum tersebut."

(Baca juga:Alasan Wanita Menjadi Biseksual)

Dalam kehidupannya kemudian, ia seperti melakukan pembenaran atas apa yang diyakininya. Paling tidak, ia bisa menikmati hidup jauh lebih lama dari perkiraan dokter.

Bahkan lantas menjalani kehidupan ini secara total, seperti caranya mencipta karya musik dan memimpin orkestra. Kerja keras dan bakat musiknya yang luar biasa menjadikan ia terkenal hampir dalam lima dekade.

Ia juga seorang eksentrik. Saat gladi resik misalnya, ia sering memimpin orkestra sambil merokok. Kalau sudah demikian yang terlihat hanya tongkat konduktornya berkilat-kilat terayun di tengah kepulan asap rokokhya.

Gerakan tangannya terasa menyihir dan memberi kesan magis. Kadang ia seperti in trance.

Tubuhnya terguncang, nyaris jatuh ke lantai karena penjiwaan yang kuat pada karya yang sedang dimainkannya.

Itu sebabnya, banyak orang menyebut pergelaran musiknya seperti ritus religius yang semarak.

Beberapa kritikus mengharapkan Bernstein lebih berkonsentrasi sebagai konduktor, sementara yang lain memintanya untuk mencipta dan menulis karya-karya musiknya sendiri.

Anehnya, Bernstein melakukan keduanya tanpa pengaruh siapa pun. la terus bekerja keras untuk memenuhi tuntutan bakatnya yang melimpah ruah dan mengisi jiwanya yang meledak=-ledak.

Tak jarang ia hanya tidur dua, tiga jam semalam, kalau desakan niatnya membuat sebuah komposisi tak bisa dibendung lagi.

Kebetulan ada piano titipan

Leonard Bernstein lahir dari pasangan imigran Rusia-Yahudi, Samuel Bernstein dan Jenny, pengusaha pemasok alat kosmetik.

Bisa dimengerti kalau ia disiapkan untuk melanjutkan usaha keluarganya. Tapi ketika Lenny, panggilan akrab Bernstein kecil, berusia 10 tahun, bibinya menitipkan sebuah piano tua di rumahnya.

Dengan kehadiran benda ajaib ini, kehidupan Lenny pun lantas berubah. la tertarik pada alat musik tersebut dan minta diajari bermain piano, meski semula orang tuanya tidak suka.

(Baca juga:Pertempuran Abadi Windows vs Mac, Siapa yang Paling Jago Memenangkan Hati Penggunanya?)

Ternyata bakat anak ini sungguh mengagumkan. Bocah kelahiran Lawrence, Massachusetts, AS, 25 Agustus 1918 ini kemudian masuk ke sekolah musik Harvard, sebelum akhirnya melanjutkan ke Curtis Institute of Music di Piladelphia. Bisa dibilang jalan hidup Bernstein memang serba kebetulan.

"Kalau bibi tak menitipkan pianonya, mungkin saya tak akan pernah mencintai musik," kenangnya. Itu 'kebetulan' pertama.

Pada tahun 1943, konduktor kelompok musik bergengsi New York Philharmonic Orchestra (NYPO) Dimitri Mitropoulos meminta Bernstein yang saat itu baru berusia 25 tahun, menjadi asistennya.

Pilihan tersebut memang tidak salah, karena saat itu Bernstein mulai nampak cemerlang rnemimpin New York City Symphony.

Tiga bulan kemudian terjadilah 'kebetulan' kedua yang lebih nampak sebagai suatu mukjizat.

Tanggal 13 November 1943 pagi, Bernstein terbangun oleh dering telepon. Panitia pergelaran NYPO yang akan tampil di Carnegie Hall, New York, panik.

Bruno Walter, konduktor yarig seharusnya memimpin konser, mendadak sakit dan sampai menjelang pertunjukan dimulai tak ada satu calon pun yang bisa menggantikannya.

Pilihan akhirnya jatuh pada si pemuda ajaib ini.

Bernstein yang belum pernah memimpin orkestra tak sempat lagi latihan karena kepalanya sedang pusing. Tapi ia tampil dengan penuh rasa percaya diri.

Tongkat konduktornya seperti menari di atas jajaran partitur di hadapannya. Mantap, seakan panggung konser telah beberapa kali dirambahnya.

Arahan memimpin orkes dari dua pemusik ulung, Fritz Reiner dan Serge Koussevitzky, semasa sekolah membuat penampilannya tak hanya bisa dikatakan tidak mengecewakan, melainkan justru 'membanggakan' penggemar musik klasik Amerika.

(Baca juga:Misteri Cincin Terkutuk Bintang Film Bisu Rudolph Valentino yang Lekat dengan Kesialan)

Bernstein muda mendapat sambutan dan tepukan gemuruh penonton. Segera koran-koran setempat menulis tentang kelahiran 'bintang' baru di bidang musik klasik.

Ini memacu kebanggaan orang Amerika, karena di masa itu konduktor yang mampu memimpin musik-musik serius masih didominasi orang Eropa.

Baru, 15 tahun sesudah 'menggemparkan' publik musik klasik AS itu, ia menjadi konduktor tetap NYPO, sekaligus orang Amerika pertama yang membawa NYPO mengadakan konser keliling Amerika Selatan, Israel, Jepang dan Uni Sovyet.

Nama Bernstein mulai diperhitungkan, selain sosok klasik yang sudah ada seperti Herbert von Karajan.

Sepanjang kariernya, Bernstein menghasilkan 24 karya musik dan meraih 20 penghargaan di bidang musik.

Ia dikenal sebagai pelanggah hadiah musik seperti Emmy, Grammy, dan Tony Award.

Karya penting yang lahir dari tangannya a.l. Symphony Jeremiah (1942), The Age of Anxiety (1949), Kaddish Symphony (1963) disamping tiga opera, di antaranya Trouble in Tahiti (1952), Candice serta sebuah masterpiece-nya yang amat populer di panggung Broadway, West Side Story,(1957) yang liriknya dibuat oleh Stephen Sondheim.

Karya sejenis Romeo-Juliet versi Amerika ini termasuk laris dan sampai sekarang tetap dianggap sebagai drama musik terbesar ciptaan warga AS.

Selain itu, ia masih mempunyai beberapa karya balet seperti Facsimile (1946) serta Fancy Free dan menulis buku-buku tuntunan musik.

Di antaranya The Joy of Music (1959) serta Young People's Concerts for Reading and Listening (1962).

Ternyata biseksual

Di balik kesuksesan dan kegeniusannya bermain musik, kehidupan Bernstein sebenarnya juga menyimpan misteri.

Sisi lain Bernstein itu antara lain terungkap dalam buku Joan Peyser, Bernstein: A Biography.

(Baca juga:Bukan Aktor Film Amerika apalagi Pemeran Drama Korea, Inilah Bintang Film Terbesar di Dunia Menurut Forbes)

Satu hal yang mungkin mengagetkan banyak orang adalah kenyataan bahwa pergaulan Bernstein dengan kaum sejenisnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan rekan-rekan sekomunitas musik.

Seorang komposer terkemuka AS, David Diamond, yang juga seorang homoseksual, mengaku, Bernstein pernah pacaran dengan hampir semua teman lelakinya.

Namun demikian, Bernstein juga menikmati kehidupan berumah tangga. Tahun 1951 ia menikahi artis kelahiran Chili, Felicia Montealegre Cohn.

Pasangan ini dianugerahi tiga anak; Jamie (36) seorang musisi rock, Alexander (33) seorang guru, serta Nina (29) seorang artis.

Felicia bukan tidak tahu penyelewengan seksual suaminya, tapi ia amat mencintai Bernstein dan memberikan keleluasaan kepadanya.

Untuk beberapa tahun Bernstein bisa mengekang diri, tetapi dalam perjalanan hidupnya kemudian, ia semakin terpuruk ke dalam kehidupan seksual yang aneh.

Ia bahkan ikut terlibat dalam gerakan pembebasan kaum homoseksual. Kematian ayahnya pada tahun 1970-an membuat Bernstein seperti kehilangan pegangan.

Sejak itu hubungannya dengan Felicia mulai terganggu dan retak. Meski akhirnya pasangan ini bercerai pada tahun 1976, tepat 25 tahun usia perkawinannya, Bernstein tetap dekat dengan mantan isterinya.

Sehingga ketika Felicia meninggal tahun 1978 akibat kanker paru-paru, Bernstein merasa amat terpukul.

Toh, ia masih terus bertarung. Komitmennya memperjuangkan prinsip-prinsip liberalisme disinggung oleh Tom Wolfe dalam buku Radical Chic.

Ketika Tembok Berlin runtuh, ia tergerak untuk datang ke Jerman dan memimpin pergelaran Ninth yang bernafaskan kebebasan.

Itulah Bernstein. Komposer ulung sekaligus konduktor yang sangat berbakat. Ia tak hanya menguasai panggung Broadway, tapi juga "Sang Penguasa" yang amat berpengaruh dalam dunia musik konser.

(Baca juga:Untuk Kesuksesan Operasinya, Musisi India Terus Bermain Musik Meski Sedang Menjalani Operasi)

Sanggenius itu sudah berpulang. Kepergiannya merupakan kehilangan besar di kalangan musisi serta keluarganya.

Mungkin tak bisa dibayangkan, seorang yang begitu dinamis, berbakat dan memiliki energi melimpah ruah harus menyerah begitu saja kepada penyakitnya.

Namun, takdir berkata lain. Ia harus kembali kepada Penciptanya, meski masih tetap ada yang terus hidup.

Seperti diyakini Bernstein, "Musik membuat saya tidak bisa mati." (djs)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1991)

Artikel Terkait