Penulis
Intisari-Online.com - Kabar duka datang dari dunia penjelajahan.
Prof Harris Oto Kamil (HOK) Tanzil atau yang lebih dikenal sebagai HOK Tanzil meninggal dunia Kamis (19/10/2017) dalam usia 94 tahun.
Beliau dikenal sebagai salah satu traveler terhebat di zamannya.
Bahkan bisa jadi belum ada satu pun traveler Indonesia saat ini yang berhasil ‘menandingi’ pencapaiannya.
Terhitung sudah 240 negara dia jelajahi dengan jarak tempuh total mencapai 161.000 km.
Untuk mengenang sosok beliau, berikut ini hasil pertemuan kru National Geographic Traveler R. Ukirsari Manggalani dengan Hok Tanzil yang dimuat di nationalgeographic.co.id dengan judul “Buku Harian, Modal Utama Travel Writer”.
Simak juga video wawancaraIntisaridengan beliau di akhir artikel.
--
Dahulu, di masa internet dan dunia blogging belum lagi hadir, membaca artikel perjalanan di majalah menjadi sebuah hiburan tersendiri.
Intinya, menambah wacana tentang keberadaan bangsa-bangsa dan tujuan wisata di berbagai belahan dunia.
Dan tidak kurang penting adalah turut memberikan inspirasi: keinginan berkunjung ke tempat baru atau asing dengan semangat memahami keberagaman.
Majalah INTISARI [bagian dari Kompas Gramedia] pun menghadirkan sebuah rubrik khas untuk mewadahi kebutuhan pembaca akan artikel perjalanan.
Para pembaca generasi pendahulu, sebelum masa saya—bahkan pada generasi saya dan sesudahnya—mengenal satu nama tenar yang identik dengan kisah-kisah perjalanan ini, yaitu H.O.K Tanzil—disingkat dari nama panjangnya; Haris Otto Kamil Tanzil.
Keinginan untuk dapat bertemu dengan H.O.K Tanzil, seorang travel writer atau penulis perjalanan idola saya ini terbuka, saat bertemu Lily Wibisono, pemimpin redaksi INTISARI.
Berbekal nomor telepon pemberian beliau, saya terhubung dengan DR Kunadi Tanzil, putra bungsu H.O.K Tanzil.
Dari niatan melakukan secuplik wawancara serta berfoto bersama, saya justru diundang untuk santap bersama keluarga Tanzil di akhir pekan!
Tentu saja sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.
Atas nama pribadi serta kru National Geographic Traveler, saya sangat berterima kasih untuk kesempatan yang diberikan serta undangan yang dilayangkan dengan penuh rasa kekeluargaan.
Om Hok, demikian H.O.K Tanzil diakrabi, terlihat cukup sehat saat menerima kedatangan saya di kediamannya, kawasan Jakarta Selatan.
Sejak beberapa bulan terakhir, pria berusia 91 ini dibantu kursi roda untuk memudahkan mobilitas.
Satu hal yang tidak berubah darinya—seperti juga dituturkan oleh Kunadi Tanzil—adalah menenteng diary atau buku harian kemanapun.
Termasuk saat kami duduk bersama di meja makan.
Dengan detail ia menuliskan nama saya, tanggal lahir serta meminta kartu nama institusi tempat saya bekerja.
“Ini modal saya untuk menulis. Buku harian membantu saya mengingat,” Om Hok menunjuk si buku harian, lalu menambahkan tanggal dan jam saat itu pada kartu namanya, sebelum diberikan kepada saya.
“Seorang travel writer sebaiknya menulis catatan detail di buku, sebelum dituangkan dalam bentuk artikel.”
Bergelar akademis sebagai professor emeritus bidang mikrobiologi Universitas Indonesia, selain menulis jurnal ilmiah sebanyak 184 buah, Om Hok telah menulis feature perjalanan atau wisata sebanyak 16 buku.
Karyanya dahulu dimuat secara berkala di Majalah INTISARI serta diterbitkan ulang dalam bentuk buku oleh beberapa penerbit.
Royalti dari tulisan-tulisan perjalanan ini beliau salurkan ke beberapa badan sosial.
Perjalanan pribadi Om Hok bersama sang istri, Ellia Chandra Tanzil, yang dituangkan ke dalam berbagai tulisan, mayoritas dilakukan setelah masa pensiun.
Jumlah negara yang dikunjungi mencapai 238 negara, dan melintasi perbatasan sebanyak 741 kali.
Data ini tercatat di dalam 15 paspornya.
Sembari menyantap sate kambing serta gulai—kebiasaan yang sebaiknya tidak ditiru, demikian komentar Kunadi Tanzil, karena makanan ini memiliki kandungan kolesterol tinggi—Om Hok berkisah, ia mulai aktif menulis buku harian sejak 14 Januari 1946.
Soal desain atau penampilan fisik diary tidak dipersoalkan, tetapi sebaiknya memiliki ukuran sama dengan sebelumnya, agar mudah disusun.
Selain itu, setiap halaman memiliki tanggal dan di bagian depan atau belakang dilengkapi peta dunia.
“Dalam sebuah perjalanan naik kereta di Eropa, saya pernah ketinggalan buku harian,” kenang kelahiran Surabaya 16 Juli 1923.
“Sedihnya bukan main. Sampai di stasiun tujuan saya melaporkan kehilangan ini dan kami bermalam di kota itu, dengan harapan si buku harian ketemu.”
Kepala stasiun pun mengirim telegram kepada jaringan kereta api yang digunakan Om Hok dan sang istri.
“Percaya tidak percaya, esok paginya saat saya ke stasiun, saya diberitahu bahwa diary saya masih ada di tempat kami duduk,” lanjut kakek yang memiliki dua anak perempuan dan satu lelaki ini.
“Saat kereta memasuki stasiun, dari jauh saya bisa melihat masinisnya bersemangat melambai-lambaikan diary saya!”
Moral story yang ingin disampaikan Om Hok adalah: bahwa di dunia ini, masih terdapat begitu banyak orang baik dan penolong.
“Kita mesti berpikir positif bahwa pasti ada saja jalan dan bantuan, utamanya dari warga setempat. Sebagai orang lokal, mereka lebih memahami situasi tempat mereka dibanding kita. Itulah mengapa setiap kali mendarat di negara asing saya selalu mendatangi konter informasi wisata untuk menanyakan titik wisata paling khas dan paling disukai warga lokal, serta bagaimana caranya ke sana dengan transportasi massa yang paling murah.”