Penulis
Intisari-Online.com – Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling. Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur pura. Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan. Girang melancong mengunjungi Wewe, Pikatan setempat dengan Candilima.
Demikian isi kitab Nagarakretagama pupuh 17 yang dibaca perlahan-lahan oleh Drs. Budi Santoso Wibowo, arkeolog dari SPSP Jawa Timur yang menjadi salah seorang penumpang mobil Hiace tua yang mencoba menerobos waktu ke bulan September tahun 1359.
Saat itu Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, raja termasyhur dari Majapahit berangkat dari ibu kata Majapahit untuk mengunjungi beberapa desa dan kota di ujung timur Pulau Jawa.
Terlambat 640 tahun
Meskipun terlambat 640 tahun, para penumpang mobil tua itu meninggalkan juga ibu kota Majapahit (yang kini tinggal puing di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto).
Mereka berangkat "menyusul" rombongan Hayam Wuruk yang tengah "pesiar".
Kitab karya Mpu Prapanca yang digubah sekitar tahun 1365 menjadi pedoman para penumpang Hiace dibantu petunjuk dari peta topografi terbitan tahun 1943.
Penumpang Hiace akhirnya sampai di Candilima. Kini Candilima hanyalah sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Desa Dinoyo, Kecamatan Jatirejo, di Mojokerto.
Salah seorang anggota tim yang naik mobil Hiace mengeluarkan alat Global Positioning System (GPS) untuk menentukan posisi koordinat tempat bersejarah itu melalui satelit.
Candilima 7° 35' 37,1" Lintang Selatan 112° 25' 55,3" Bujur Timur. Jaraknya sekitar 7 km di sebelah tenggara Trowulan!
Hayam Wuruk tidak akan pernah tahu jika tempat yang disenanginya itu kini telah menjadi lokasi makam penduduk.
Tak ada lagi bangunan candi yang tegak di situ. Yang tersisa batu-batu andesitnya saja, kepala kala, pecahan-pecahan keramik Cina masa Dinasti Yuan (abad XIII - XIV), dan kepingan wadah tembikar halus tipe Majapahit.
Setelah menikmati pemandangan alam sebentar, berupa tempuran (tempat pertemuan sungai-sungai kecil menjadi Sungai Brangkal), rombongan pun menggelinding ke arah tenggara mencari lokasi Pikatan dan Wewe.
Di luar dugaan, Wewe ditemukan lokasinya, yaitu di tepi S. Pikatan. Tepatnya, di Desa Karangbening, Kecamatan Gondang, berjarak 2,4 km dari Candilima.
(Baca juga:Angka-angka Misterius di Candi Borobudur Ini Tunjukkan Betapa Penuh Perhitungannya Pembangunan Candi Ini)
Dilihat di peta, tampak jelas Candilima, Pikatan, dan Wewe terletak di lahan berbentuk kipas fluvio vulkanik.
Prof. Dr.Sutikno dari Fakultas Geografi UGM, dalam buku "700 Tahun. Majapahit" (1993) menyatakan bahwa bentuk lahan kipas fluvio vulkanik mempunyai ciri-ciri topografi menyerupai bentuk kipas yang terbentuk oleh proses fluvial dengan material bahan vulkanik.
Pembentukan kipas itu diakibatkan oleh aliran sungai yang berasal dari gunung api Anjasmoro dan Welirang yang mengalir ke arah barat melalui daerah dengan perubah sebut mengalir di daerah yang relatif berlereng terjal kemudian mengalir ke daerah yang relatif datar seperti terjadi di hulu S. Brangkal di sebelah tenggara Trowulan (Sutikno 1993: 20).
Pembentukan kipas fluvio vulkanik dimulai dari pertemuan S. Brangkal dan S. Boro di sekitar daerah Baurena dan Desa Jetis.
Batanya dijadikan bahan semen
Di Dusun Wewe, para penumpang Hiace keluar dari mobil dan menyebar mencari pecahan kerarhik. Sampai ke belakang rumah salah seorang penduduk mereka tampak ternganga sekaligus pening melihat peninggalan yang ada.
Di situ terlihat sisa-sisa bangunan tempat tinggal kuno berkesan mewah dari bata, persis seperti permukiman elite Majapahit yang terdapat di situs Trowulan.
Bedanya, cuma dalam ukuran yang lebih kecil. Bangunan megah masa Majapahit itu dilengkapi pula dengan sumur-sumur berdinding tanah liat, dan perlengkapan rumah-tangga berupa keramik-keramik dari Cina dan Vietnam yang terserak begitu saja di permukaan tanah!
(Baca juga: TN Komodo, Pulau Wayag, dan Borobudur Masuk Daftar 20 Tujuan Wisata yang Wajib Dikunjungi di Dunia)
(Baca juga:Ke Candi Borobudur dan Menara Pisa Ddalam Beberapa Langkah)
Sudah barang tentu tinggal pecahan-pecahannya saja!
"Inilah keraton cilik Majapahit!" ujar seorang tua menjelaskan. Akan tetapi yang membuat kepala pening adalah melihat kenyataan bata-bata kuno yang ada ternyata siap diangkut truk untuk dijadikan bahan semen growol (semen merah) setelah disusun tinggi.
Padahal, penggalian bata itu justru melenyapkan lapisan tanah budaya masa Majapahit. Tragisnya, pemusnahan peninggalan budaya itu terus berlangsung sampai sekarang!
Profesor dari Belanda juga "menyusul"
Rombongan tim Hiace kali ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya mencoba menapak tilas perjalanan Hayam Wuruk.
Kisah perjalanan raja agung itu ke desa-desa di timur Jawa yang termuat dalam Nagarakretagama telah memikat sarjana-sarjana terkenal seperti N.J. Krom dan J.F. Niermeyer dari Utrecht Belanda puluhan tahun lalu.
Bahkan mereka telah menyusun dan menerbitkan peta napak tilas tersebut pada tahun 1913 (Tijdscrift Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, deel XXX).
Asal tahu saja, ada 22 pupuh dari 98 pupuh dalam Nagarakretagama yang mengisahkan kunjungan wisata Hayam Wurak ke daerah timur Jawa dan kembali ke Singasari.
Dari jumlah pupuh itu-tercatat 175 tempat, sebagian besar desa dan sisanya kota atau tempat-tempat suci.
Meski demikian, tidak mudah merekonstruksi rate perjalanan baginda raja ini. J.F. Niermeyer mendapat kesulitan dengan tempat-tempat yang ada sekarang.
Maklum saja, nama-nama Jawa kuno itu telah banyak yang tidak tercatat lagi di peta. Dengan mengandalkan toponim dan peta topografi, profesor Belanda tersebut hanya mampu membuat rate yang bersifat hipotesis belaka.
Namun, hipotesis bukan berarti khayalan. Banyak nama tempat yang disebut 640 tahun lalu masih bisa diidentifikasi lewat toponim dan bukti arkeologis.
Boleh dikata usaha J.E Niermeyer ternyata meluruskan kembali maksud Mpu Prapanca yang sebenarnya ketika menulis Nagarakretagama.
Prapanca menyebut karyanya itu Desawarnnana yang intinya memuat uraian tentang desa-desa yang dikunjungi Hayam Wuruk.
Cunia, judul itu dilupakan umum dan lebih populer dengan sebutan Nagarakretagama berkat kolophon Dr. J.L.A. Brandes: Iti Nagarakretagamasamapta, pada tahun 1806.
Nama populer itu ternyata tambahan penyalin sesudah Prapanca, yaitu Arthapamasah yang. disalin dengan huruf Bali di Kancana pada tanggal 20 Oktober 1740.
Nagarakretagama ditemukan di Puri Cakranegara, P. Lombok, pada tahun 1894.
Pungging = Pongging
Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah. Sebelah timur Tebu, hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci. Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkaja memanjang bersambung-sambungan. Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
Nama-nama tempat yang disebutkan dalam Nagarakretagama pupuh 17 itu memang harus dicari di daerah Mojokerto.
Niermeyer mengidentifikasikan Tebu adalah Tepus, letaknya di sebelah timur Majapahit (Trowulan).
Nama Japan, menurut profesor itu sudah tidak dapat ditemukan di peta. Namun, nama itu masih disebut penduduk walaupun pada tanggal 12 September 1838 daerah itu menjadi bagian dari daerah Mojokerto.
Kuti Haji tidak lain Kutorejo yang letaknya di bagian barat daya Mojosari. Kutorejo sekarang, telah menjadi desa dan kota kecamatan.
Panjrak Mandala boleh jadi adalah Desa Panjer yang juga terletak di Mojosari. Niermeyer yakin, Pongging sudah jelas itu Pungging, sebuah desa besar yang kini menjadi Kecamatan Pungging. \
Tim Hiace-mencoba menelusuri beberapa nama yang diidentifikasikan oleh Niermeyer lebih dari 85 tahun yang lalu.
Dengan panduan peta topografi, tim meluncur ke Desa Sumbertebu, Kecamatan Bangsal. Penduduk sudah tidak mengenal nama Tebu yang tercantum dalam peta terbitan tahun 1943.
Untunglah kepala desa masih ingat lokasi kuno itu. Ternyata sekarang telah berganti nama menjadi Gampang, salah satu dusun di wilayah Desa Sumbertebu, letaknya di pinggir jalan raya Mojokerto - Pasuruan.
Seorang petahi mengantar tim Hiace ke sebuah lahan yang letaknya dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk.
Kagenengan, itulah situs masa Majapahit, berjarak 15 km di sebelah timur ibu kota Majapahit. GPS mencatat posisi Kagenengan 7° 30' 01" Lintang Selatan 112° 30' 01,6" Bujur Timur.
Tempat itu hanya sebidang tanah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yang kini menjadi tegalan milik penduduk.
Di permukaan tanah, dijumpai pecahan-pecahan keramik Cina dan tembikar tipe Majapahit.
Bukti-bukti arkeologis di wilayah Pungging terdapat di Dusun Patung dan Desa Tunggalpager, jaraknya 8,2 km di sebelah tenggara situs Tebu.
Sebuah lumpang batu kuno yang lubangnya dipenuhi kembang sesajen terdapat di pekarangan rumah penduduk Dusun Patung.
Di Desa Tunggalpager, bata-bata kuno berukuran besar terdapat di kompleks makam desa. Bangunan-bangunan cungkup makam hingga batu nisan, menggunakan bata-bata peninggalan Majapahit.
Kisah di Wewe terulang di situs ini, puluhan truk telah berhasil menjarah bata-bata warisan Majapahit.
Tim kembali ke ibu kota Majapahit. Harapan untuk menyusul Hayam Wuruk semakin menipis.
Jejaknya satu per satu telah terhapus oleh ulah manusia sekarang yang menggusur situs-situs peninggalan desa yang pernah dikunjungi raja besar itu.
(Ditulis oleh Nurhadi Rangkuti, arkeolog. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1999)