Penulis
Intisari-Online.com - Penggunaan alat tempur berupa peluncur granat (Rocket Propeled Granade/RPG) terbukti sangat mematikan ketika dioperasikan oleh para gerilyawan Somalia dalam taktik perang kota melawan pasukan AS.
Pasukan AS bahkan tidak menduga jika pasukan gerilya Somalia tidak hanya mahir menggunakan RPG untuk menghantam sasaran di darat tapi juga udara, khususnya heli tempur AS yang menjadi andalan pasukan khsusus AS.
Misi pasukan khusus yang diterjunkan ke kawasan konflik umumnya terencana sangat baik dan mendapat dukungan dari operasi intelijen yang memadai.
Tapi tidak semua misi pasukan khusus seperti yang dilaksanakan pasukan khusus AS berjalan mulus.
Kendati persiapan operasi tempur sudah tersusun matang dan mendapat dukungan operasi intelijen yang sudah dianggap maksimal, operasi yang merupakan kombinasi kekuatan pasukan elit itu justru menghadapi malapetaka.
Padahal musuh yang dihadapi bukan merupakan pasukan reguler melainkan kelompok gerilyawan yang bertempur secara sporadis dan tanpa terkoordinasi dengan baik.
Pasukan khusus AS kembali mengalami nasib nahas tersebut justru sewaktu bertugas sebagai pasukan Perdamaian PBB di Somalia, Afrika.
Ketika pada tahun 1993 pasukan PBB dikirim ke Somalia untuk misi kemanusiaan, sejumlah pasukan elit AS seperti Delta Force, Ranger, dan Navy SEAL ikut diterjunkan ke kawasan yang sangat rusuh itu.
Meskipun bertugas sebagai pasukan perdamaian personel pasukan elite itu tetap bersenjata lengkap dan hanya boleh menggunakan senjata tempurnya untuk membela diri jika diserang.
Tugas utama pasukan PBB adalah mengawal bahan makanan yang dikirim kepada pengungsi Somalia.
Pada awalnya bahan makanan yang dikirim kepada pengungsi terdistribusi secara lancar.
Tapi proses pengiriman bahan makanan itu mulai mendapat kendala ketika kelompok-kelompok pejuang Somalia melancarkan pencegatan dan merampas bahan makanan yang sedang dikirim.
Akibatnya kerap terjadi kontak senjata antara pasukan pengawal perbekalan dan para milisi bersenjata.
Bentrokan yang kemudian muncul tidak hanya antara pasukan PBB dan milisi dalam jumlah kecil tapi juga bentrokan antara para pejuang yang dipimpin oleh panglima tempur yang dikenal sebagai warlord.
Para pejuang yang kebanyakan merupakan bekas anggota militer itu memiliki persenjataan yang lengkap dan mampu bertempur secara terkoordinasi.
Untuk menghadapi setiap hadangan yang dilancarkan oleh para pejuang Somalia yang di mata pasukan PBB tidak berbeda dengan kaum teroris pengawalan pun makin ditingkatkan.
Pasukan PBB sendiri kemudian menamai para perusuh itu sebagai kelompok milisi bersenjata terorganisir yang belakangan berjanji tidak akan mengganggu lagi misi pengiriman bantuan kemanusiaan.
Tapi misi kemanusiaan PBB, terutama untuk bantauan pangan tetap saja sering tak sampai sasaran karena hadangan oleh para perusuh lainnya yang semakin nekat. Korban pun mulai berjatuhan di pihak pasukan PBB.
Salah satu kelompok milisi yang terdeteksi paling berbahaya dan berpengaruh di ibukota Somalia, Mogadishu adalah pasukan milisi yang dipimpin oleh Letnan Mohammed Farah Aideed.
Sebagai mantan anggota pasukan tempur yang berpengalaman, Aideed merupakan warlord (panglima perang milisi) yang tidak takut kepada kehadiran pasukan AS. Motor penggerak para milisi bersenjata ini harus secepatnya diringkus dan diadili.
Untuk membekuknya, pasukan PBB lalu membentuk tim khusus, Task Force Ranger, guna secepatnya menangkap dalang semua kekacauan itu.
Sebagai pasukan pemukul, kekuatan Task Force Ranger terdiri dari tim pasukan khusus PBB yang didominasi AS.
Di antaranya Army Delta Force, Ranger, 160th Special Aviation Operation Regiment, 4 personel SEAL dari SEAL Team 6, dan tim pasukan PBB Malaysia serta Pakistan.
Sesuai jabaran dari komandan pasukan, misi untuk meringkus Aideed dianggap tugas yang ringan dan hanya memerlukan waktu satu jam.
Kalau pun ada perlawanan diperkirakan datang dari milisi yang hanya memiliki senjata ringan dan mudah dilumpuhkan.
Berdasar penilaian itu, demi mempercepat waktu semua pasukan penyerbu akan diturunkan menggunakan helikopter Black Hawk di tengah perkotaan yang kumuh dan padat.
Terjebak milisi
Sebagai operasi serbuan antiteror, sebagian pasukan akan diterjunkan melalui cara fast rope dari helikopter dan pasukan di darat yang diangkut ranpur Humve seperti Delta Force dan Navy SEAL bertugas memberikan dukungan operasi.
Dalam perjalanan menuju sasaran konvoi Humve yang dilengkapi senapan mesin kaliber 60 mm terus dibayangi helikopter-helikopter pengangkut pasukan yang sekaligus berperan sebagai pelindung udara (air cover).
Lokasi sasaran juga sudah jelas, Aideed diyakini sedang berada di dalam sebuah gedung safe house bersama pengikutnya dan Task Force Ranger tinggal menangkapnya.
Karena dianggap operasi singkat dan ringan, personel Taks Force Ranger diperintahkan tak memakai rompi antipeluru dan pasukan di darat hanya diperintahkan membawa Humve, bukan ranpur angkut personel (APC) atau panser lapis baja.
Sesuai rencana kekuatan Task Force Ranger yang terdiri dari 19 helikopter , 12 kendaraan militer, dan 160 personel pasukan tempur segera bergerak menuju sasaran.
Empat personel SEAL yang berada dalam satu Humvee dan dikemudikan oleh anggota SEAL, Howard Wasdin mendapat tugas mengawasi operasi penerjunan pasukan sekaligus mengevakuasi personel seandainya ada helikopter yang berhasil ditembak jatuh.
Perkiraan akan tertembak jatuhnya helikopter sebenarnya berpeluang kecil tapi di lapangan situasinya ternhyata lain.
Wasdin yang mengemudikan Humvee sambil mengawasi jalanan mulai mencium situasi yang tak beres saat menyaksikan banyaknya milisi bersenjata yang bersembunyi di balik bangunan gedung.
Para milisi bersenjata itu tampak telah mempersiapkan diri untuk menghadapi pasukan PBB.
Melihat kenyataan itu, Wasdin menyimpulkan bahwa operasi rahasia untuk menangkap Aideed telah bocor.
Wasdin makin terperanjat karena beberapa milisi bersenjata dan bergerak dari gedung ke gedung itu ternyata memanggul peluncur roket, RPG. Senjata peluncur granat yang bisa merontokkan helikopter jika tembakannya tepat.
Kehadiran milisi bersenjata RPG itu makin memperjelas jika mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi pasukan PBB yang akan diterjunkan menggunakan sejumlah helikopter.
Apa yang dikhawatirkan Wasdin terjadi, ketika berlangsung operasi penurunan pasukan, mereka langsung disambut tembakan gencar dari berbagai arah.
Pilot Black Hawk yang membuat manuver untuk menghindari tembakan RPG bahkan mengakibatkan satu orang pasukan terlepas dari tali dan jatuh meluncur ke tanah.
Jatuhnya korban di pihak pasukan PBB membuat keadaan pasukan penyerbu mulai dilanda kepanikan.
Tim darat yang bertugas sebagai pasukan pendukung dan pelindung juga terhambat gerakannya akibat tembakan membabi buta milisi.
Gempuran senapan serbu AK-47 yang ditembakkan dari jarak dekat menjadi senjata mematikan bagi operator senapan mesin kaliber 60 mm Humve karena sebagian tubuhnya berada di tempat terbuka.
Korban di pihak pasukan PBB mulai berjatuhan dan heli tempur di udara terpaksa membalas serangan milisi dengan memuntahkan ribuan peluru senapan mesin Gatling-nya.
Tapi gempuran mematikan itu tidak mematahkan semangat tempur pasukan milisi yang beberapa di antaranya merupakan mantan pasukan militer yang terlatih.
Para operator RPG bahkan paham taktik untuk melumpuhkan Black Hawk, yakni dengan cara menembak bagian baling-baling ekornya (tail rotor).
Black Hawk Jatuh
Keadaan makin memburuk saat dua heli Black Hawk terhantam RPG dan meluncur jatuh. Wasdin dan tim SEAL segera mengarahkan Humve-nya ke heli yang jatuh.
Tapi begitu keluar dari kendaraan Wasdin dan kawan-kawannya langsung dihujani peluru senapan otomatis para milisi. Tim SEAL pun melancarkan tembakan perlawanan dan bertempur makin sengit.
Wasdin dan kawannya mulai menyadari bahwa mereka tak mungkin bisa keluar Mogadishu dalam keadaan hidup.
Tim SEALakhirnya memutuskan untuk memberikan perlawanan maksimal meskipun persediaan amunisi makin menipis sambil menunggu bantuan tiba.
Menjelang malam pasukan PBB terus terlibat pertempuran sengit dan hanya bisa berada pada posisi bertahan. Sejumlah personel pasukan yang terluka parah tewas karena tidak segera mendapat bantuan medis yang memadai.
Jenazah pasukan yang dirampas oleh para milisi bahkan dimutilasi dan di arak keliling kota sebagai tanda kemenangan.
Esok harinya bantuan dari Task Force 2-14 Infantry dan US 10 Th Mountain Division yang dipinjami panser milik pasukan Malysia serta Pakistan tiba.
Personel SEAL yang rata-rata mengalami luka parah dan pasukan AS lainnya yang berhasil bertahan dalam sepanjang malam pertempuran segera di evakuasi.
Tapi karena para milisi terus berdatangan dan melakukan pengepungan rapat perlu perjuangan berdarah-darah untuk melaksanakan misi SAR tempur (Combat SAR).
Proses evakuasi itu sendiri berjalan lamban karena terus mendapat tembakan milisi.
Khusunya milisi bersenjata senapan serbu yang mengambil posisi di atap bangunan.
Berkat posisinya yang lebih tingi mereka bisa dengan mudah pasukan PBB yang berada di dalam Humve.
Karena ranpur angkut personel terbatas hanya pasukan yang terluka yang diprioritaskan untuk diangkut.
Sejumlah anggota Delta dan Ranger yang masih sehat memutuskan mundur dari Mogadishu dengan berlari menuju base ops yang berjarak puluhan km.
Sebagai pasukan tempur yang terlatih berlari membawa beban itu merupakan hal biasa.
Tapi berlari di tengah-tengah kota yang penuh pasukan musuh merupakan tantangan tersendiri bagi pasukan berkualifikasi pasukan komando itu.
Namun, kahirnya mereka akhirnya bisa selamat menuju base ops yang telah disibukkan merawat pasukan yang tewas maupun luka.
Pemandangan itu merupakan mimpi buruk bagi pasukan khusus yang terpaksa mundur dari gelanggang pertempuran karena salah perhitungan dan strategi tempur.
Operasi pasukan PBB untuk menangkap Aideed akhirnya dinyatakan gagal. Sebanyak 18 personel militer AS tewas dan 73 personel lainnya luka-luka.
Jumlah korban tewas dan luka itu sebenarnya bisa diminimalkan jika sebelum berangkat rompi antipeluru dikenakan karena telah menjadi standar operasi di daerah konflik.
Sedangkan di pihak milisi dan penduduk sipil Mogadishu jatuh korban lebih dari 1000 orang.
Korban yang tidak perlu jatuh secara sia-sia jika pasukan PBB menerapkan strategi diplomasi yang tepat dan bukannya malah memicu perang dan menyebabkan tewasnya ribuan warga sipil.
Atas keberanian di medan tempur, Wasdin dan rekannya kemudian mendapat penghargaan Silver Star. Setelah pensiun dari SEAL , Wasdin memutuskan bergabung dengan kepolisian Florida.