Penulis
Intisari-Online.com - Setelah diberhentikan sebagai Presiden RI berdasarkan Tap MRRS No.XXX/MPRS/1967, Bung Karno segera diperintahkan untuk meninggalkan Istana dalam waktu 2x24 jam.
Ia kemudian tinggal di rumah Ibu Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Tak lama kemudian Bung Karno dipindahkan oleh penguasa ke Istana Bogor.
Saat itu, ia sedang dalam keadaan sakit ginjal dan seharusnya telah menjalani operasi transplatasi ginjal di Veinna Austria pada akhir 1965 tapi rencana operasi gagal akibat meletusnya G30S.
Akibatnya wajah Bung Karno terlihat bengkak-bengkak dan kemudian, atas permohonan keluarga, Bung Karno dipindahkan di Wisma Yaso, Jakarta.
Pada 21 Juni 1970, tiga tahun setelah diberhentikan sebagai Presiden, Bung Karno wafat.
Ia meninggal sebagai tahanan politik Orde Baru.
Salah seorang keluarga Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno meninggal dalam keadaan sangat menderita karena selama sakit ia tidak diberi obat.
Mendengar berita bahwa jenazah Bung Karno akan dikebumikan di Blitar, mantan KSAU Suryadarma bersama keluarga pergi ke Bandara Halim Perdanakusum.
Berkat hubungannya yang baik dengan para personel AURI, mereka menyelinap ke dalam kokpit salah satu pesawat C-130 yang akan mengantarkan jenazah Bung Karno.
Suryadarma yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Bung Karno semasa menjabat sebagai KSAU, memang tidak diundang oleh pemerintah untuk ikut dalam rombongan pengantar jenazah, yang terdiri dari para pejabat Orde Baru dan keluarga Bung Karno ke Blitar.
Pesawat yang ditumpangi Suryadarma saat itu diterbangkan oleh Mayor Udara O.H. Wello hingga tiba di Malang.
Lalu perjalanan dilanjutkjan dengan menumpang kendaraan yang disediakan oleh AURI untuk mengantar rombongan pengantar jenazah Bunng Karno ke Blitar.
Di sepanjang perjalanan dari Malang hingga ke Blitar, begitu banyak rakyat yang berbondong-bondong menyambut rombongan pengantar jenazah Bung Karno.
Suatu kejadian aneh terjadi di dalam perjalanan menuju Blitar, yaitu truk-truk pasukan AD yang mengawal para pejabat Orde Baru, mendadak mogok semua di tengah perjalanan.
Akibatnya, rombongan harus melanjutkan perjalanan sampai Blitar tanpa pengawalan tentara satu pun.
Setibanya di tempat pemakaman Bung Karno, terlihat lautan manusia yang sudah menantikan jenazah Bung Karno.
Bertemu dengan jutaan massa pengagum Bung Karno yang berkabung sempat membuat nyali beberapa para pejabat Orde Baru ciut karena tidak ada pasukan pengawal yang menjaga mereka.
Ketika jenazah Bung Karno dimasukan ke dalam liang lahat, sekonyong-konyong suasana menjadi sunyi senyap.
Lautan masyarakat yang begitu padatnya memenuhi lokasi, semuanya terdiam, hening.
Dalam keheningan, yang terdengar hanyalah isak tangis dari pihak keluarga Bung Karno.
Rakyat dan para pelayat lainnya semua terdiam saat melepas kepergian Sang Proklamator.
(Sumber : Buku otobiografi Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma dan Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno)