Penulis
Intisari-Online.com – Siang itu, oleh suatu keperluan, tiba-tiba saja saya berada di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Di luar ruang sidang, saya merasa terasing di tengah kerumunan keluarga para tersangka ataupun terdakwa.
Tiba-tiba kerumunan tersibak. Lima orang berpakaian putih hitam dan berpeci hitam, jalan berbaris. Ah, ternyata setiap dua orang diborgol.
Wajah mereka, ya ampun, amat innocent. Tak ada rasa bersalah. Lalu mengapa mereka diseret ke pengadilan?
Pertanyaan ini mengalirkan langkah saya ke lantai bawah, bagian belakang.
Dua sel tahanan disesaki orang-orang berpakaian sama, putih hitam, ada yang duduk bersandar tak peduli, ada yang memegangi jeruji sambil matanya mencari kasih sayang di antara keluarga pembesuk, mata semuanya menyinar kepasrahan, tak berdaya.
Di balik jeruji penjara, mereka tetap hidup normal. Makan dan minum serta bergaul, seperti kita juga. Suatu saat, adakalanya mereka merasa gembira, bergurau bersama teman.
Atau sebaliknya, merasa sedih, kecewa, dan menyesali diri. Seperti kita juga. Satu-satunya hal yang membedakan kita yang di luar dengan mereka yang di dalam jeruji, adalah kebebasan.
Kita bebas melakukan apa saja, sedang mereka tidak. Mereka hidup dalam ketidakbebasan. Kita sendiri pun juga tidak bebas sepenuhnya.
Ada tatanan hukum yang mengatur kehidupan kita. Mereka telah melanggar tatanan itu, sehingga dicabut haknya sebagai manusia bebas.
Saya ingat, 25 tahun lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, mendapati seorang ibu muda hamil tujuh bulan meringkuk di tahanan, menunggu sidang.
Dua tahun perkawinannya penuh siksaan fisik, bahkan ketika dirinya hamil pun suaminya tega memukuli. Akhirnya, ia tak tahan lagi. Dengan pistol dinas suaminya, ia habisi pria yang telah mengawininya paksa itu.
Siang itu, saat tercenung di luar jeruji tahanan, saya merasa lemah. Seperti mereka juga. Mereka tak punya pilihan sesaat sebelum melanggar hukum.
Kini, di hadapan hukum yang tak bisa diperdaya, mereka pun tak berdaya. (MasNot – Intisari September 2010)