Penulis
Intisari-Online.com - Ini bukan kiprah spionase, tetapi kegiatan Tracing and Mailing Service pada Palang Merah Indonesia (PMI), yang pada tanggal 17 September tahun ini merayakan hari jadinya yang ke-72.
Pemuda gagah yang duduk di kelas dua SMTA itu meneteskan air mata. Ayahnya yang sudah lama dia cari-cari ditemukan di Bukittinggi. Lho, kok malah menangis?
Pasalnya, ayahnya yang sudah beranak-bini lagi itu menolak bertemu dan tidak mau alamatnya diketahui oleh pemuda yang mengaku anaknya itu.
"Ikut sedih juga. Tetapi bagaimana ya, tugas kami cuma sampai di situ. Soal penolakan pertemuan itu 'kan hak mereka," tutur Dra. M.L. Yuliani Sumartono, kepala Tracing & Mailing Service (TMS).
TMS, salah satu lembaga pada Markas Besar PMI Jakarta, inilah yang dimintai bantuan oleh pemuda itu untuk menemukan ayahnya.
Namun, TMS bukan berarti terus tinggal diam. Kepada pemuda itu kemudian disarankan untuk menulis surat buat ayahnya, yang nanti akan disampaikan petugas.
Meski surat sudah disampaikan, toh sampai sekarang belum ada jawaban.
Kenapa tidak diberikan saja alamat sang ayah kepada pemuda itu? "Kami terikat kode etik, tidak boleh begitu saja memberikan alamat orang yang dicari kepada pencari tanpa seizin orang yang bersangkutan," tutur Ny. Yuli.
Tugas TMS memang unik: melayani permintaan bantuan mencari dan melacak orang-orang yang terpisah dari keluarganya agar dapat dipertemukan kembali dengan kerabatnya.
Pada mulanya tugas ini khusus ditujukan untuk membantu para pengungsi, terutama dari Vietnam.
Beberapa waktu setelah pecah Perang Vietnam tahun 1975, ribuan penduduk Vietnam berbondong-bondong meninggalkan negerinya.
Mereka mengungsi ke berbagai wilayah di Asia, seperti Hong Kong, Muangthai, Malaysia, Filipina dan juga Indonesia.
Dalam situasi kacau-balau begitu, perpisahan antaranggota keluarga seringkali takterhindarkan.
Untuk memperingan beban penderitaan dan ketidakpastian mereka yang terpisah, Palang Merah mengulurkan tangan. Lewat TMS itu tadi.
Dalam tugasnya, TMS-PMI bekerja sama dengan jaringan TMS di Asia, Palang Merah sedunia dan juga Komisi Tinggi PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR).
Kegiatan TMS pada Palang Merah di berbagai pelosok dunia dikpordinasi oleh Central Tracing Agency pada Komite Internasional Palang Merah (ICRC) yang berkedudukan di Jenewa, Swis.
Lewat pengeras suara
TMS-PMI resminya baru dibentuk tahun 1979, ketika pengungsi Vietnam mulai banyak berdatangan ke Indonesia, yang kemudian ditampung sementara di P. Galang, Riau.
Pengungsi yang ingin berkumpul kembali dengan keluarganya yang ditampung di kamp lain, atau yang sudah bermukim di negara ketiga seperti Amerika, Kanada atau Australia bisa memanfaatkan jasa TMS.
Data lengkap orang yang dicari, oleh TMS dikirimkan ke Palang Merah negara yang diindikasikan.
Untuk melayani pengungsi yang ingin berkomunikasi dengan kerabat atau kenalan dekatnya di Vietnam, atau di tempat lain, TMS pun siap berganti jabatan jadi "tukang pos". Maklum, di P. Galang tak ada kantor pos.
Sebaliknya kalau TMS-PMI menerima permintaan pencarian dari negara lain, maka permohonan itu akan dikirimkan ke P. Galang.
Petugas kemudian mencarinya di lapangan. Caranya, bisa dengan menempelkan pengumuman pada papan di kantor TMS, atau diumumkan lewat pengeras suara yang dipasang di sekitar kamp penampungan.
Sebagai gambaran, tahun 1979 — 1989 TMS menerima permintaan pencarian 15.921 orang pengungsi Vietnam, sementara yang berhasil ditemukan 5.657 orang. TMS juga berhasil menyampaikan 837.955 surat untuk pengungsi di P. Galang.
Sejak tahun 1976 kegiatan TMS di Indonesia menjadi agak melebar. TMS melayani-permintaan penyampaian berita keluarga dari dan untuk penduduk Timor Timur.
Di samping itu juga mengusahakan family reunion atau migrasi penduduk Timtim ke Portugal, Australia dan Cape Verde, serta repatriasi mantan pegawai negeri sipil Portugis di Timtim ke Portugal.
"Pokoknya, tugas TMS adalah membantu mereka yang menderita akibat konflik antarnegara, ketegangan dalam negeri, hubungan diplomatik yang terputus, komunikasi pos yang terputus dan bila perjalanan biasa tak mungkin dilakukan," ujar Ny. Yuliani.
Hal itu tentu saja menuntut konsekuensi pelayanan yang tidak pandang bulu. Alias tak mempertimbangkan ras, bangsa, agama, golongan maupun paham politik.
Ini sesuai dengan prinsip Palang Merah yang mengutamakan kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan umat dan kesemestaan.
Karena itu pintu TMS terbuka bagi siapa saja, termasuk masyarakat Indonesia sendiri. Contohnya, anak laki-laki yang ditolak bertemu dengan bapaknya tadi.
"Tetapi, masyarakat kita belum terlalu banyak yang membutuhkan bantuan TMS. Mungkin banyak yang belum tahu bahwa kita bisa membantu," tutur Yuliani.
Paling banyak warga Belanda
Dari data 1981.- Juni 1989 tampak bahwa permintaan local tracing (pencarian dari masyarakat umum di luar pengungsi Vietnam dan penduduk Timtim) tidak terlalu banyak.
Cuma 572 kasus. Dari jumlah itu sebagian besar permintaan datang dari dan untuk Belanda. Sisanya dari Indonesia sendiri, RRC, Hong Kong dan Australia.
"Namun, baru sekitar 30% yang berhasil ditemukan," kata Yuliani. Kebanyakan, katanya karena data yang dikirimkan tidak lengkap.
Sebagian besar permintaan local tracing datang dari dan untuk Belanda, "Akibat revolusi kemerdekaan Indonesia dulu," ujar Yuli menjelaskan.
"Waktu Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, banyak yang tertinggal di sini. Apakah itu istri, anak atau malah nyai-nyai," tambahnya diiringi senyum.
Pernah datang permintaan dari seorang pemuda Belanda berumur 30-an tahun. Dia ingin bertemu ibunya yang terpisah dengannya sekitar 25 tahun lalu.
Berbekal fotokopi surat kenal lahir yang dikirimkannya, Ny. Yuli mencoba melacak mulai dari kantor catatan sipil. Ternyata pada saat pemuda itu dilahirkan, ibunya tinggal di sekitar Jl. Gendana, Jakarta.
Sewaktu alamat itu didatangi, ibunya sudah pindah. Penghuni baru, seorang ibu tua, kenal dengan ibu pemuda tersebut. Bahkan tahu sedikit riwayatnya.
Namun, sayang ia tidak tahu ke mana pindahnya. Beberapa waktu sebelum Ny. Yuliani datang, ibu tua itu pernah melihat orang yang dicari di sekitar Jatinegara.
Namun, ia tidak bisa menyapanya, sebab ia di dalam bus yang sedang melaju. Pemuda itu pun kehilangan jejak ibunya.
"Kami sudah pula mencoba memuat beritanya di sebuah koran ibu kota, tetapi sampai sekarang tetap belum ada jawaban," kisah Yuliani.
Itu satu contoh dari sekitar 70% kasus yang tidak berhasil diselesaikan. "Tapi kami tidak berkecil hati. Yang pentirig, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Bila dinilai dari segi jumlah memang kecil, tapi kalau diukur dari sisi kepuasan batin, persentase keberhasilan itu kami rasakan sudah cukup besar," ujar Ny. Yuli.
Menurut pengakuannya, keberhasilan menemukan atau mempertemukan kembali mereka yang terpisah atau kehilangan kontak merupakan kebahagiaan tersendiri yang sulit diukur dengan materi.
Alamat di Jakarta memusingkan
Apabila orang yang dicari diindikasikan tinggal di daerah, TMS akan menghubungi PMI Cabang atau Ranting.
Yang repot, menurut Yuliani, kalau harus berburu alamat di Jakarta. Soalnya, wilayah tempat tinggal yang disebutkan terkadang sudah berubah jadi deretan toko, pusat perbelanjaan, atau hotel. "Kalau sudah begitu, ya pusinglah," ujar Yuliani diiringi tawa.
Itu pun masih mendingan. Ada pencari bantuan yang cuma menyebut alamat: Indonesia!
"Nah, ini makin repot. Jakarta saja misalnya, penduduknya sekian juta. Apa nggak seperti mencari jarum di tumpukan jerami," tutur Yuli berumpama.
Biasanya kasus-kasus demikian tidak bisa diselesaikan dan segera ditutup. Kasusnya bisa dibuka atau dilanjutkan kembali kalau peminta bantuan sanggup memberikan data lebih lengkap.
Untuk local tracing tak ada istilah batas waktu. Selama pencari bantuan setiap kali sanggup memberikan data baru, upaya pelacakan bisa diteruskan kembali. "Ya, kalau sudah ditutup ... boleh dibuka lagi," seloroh Yuli.
Sementara bagi pengungsi Vietnam, bila dalam kurun waktu setahun tidak berhasil ditemukan, kasusnya segera ditutup.
Namun, TMS toh tidak bersikap kaku. Pelacakan juga bisa dilanjutkan lagi, asal datanya lebih lengkap.
Yang tidak kalah seru, atau luarga RRC lebih pas mungkin mengharukan, adalah berhasil dipertemukannya kembali keluarga-keluarga RRC – Indonesia setelah selama sekian puluh tahun saling terpisah.
Kisah-kisah family visit (kunjungan keluarga) yang disponson TMS itu sempat menarik perhatian media massa.
Di antaranya ialah pertemuan kembali Mak Ijah (88) dari Tasikmalaya dengan anak kandungnya Aneng alias Deng Ji Ning yarig bermukim di RRC setelah 40 tahun lebih saling terpisah.
Atau Huang Li Shian (64) dari RRC yang pada 8 November 1988 lalu berhasil bertatap muka kembali dengan ibundanya, Ny. Tjiong Sioe Eng Nio (84) dari Tebet, Jakarta Selatan, setelah 54 tahun berpisah.
Momen pertemuan itu mereka manfaatkan betul, sebab rata-rata mereka hanya diberi kesempatan bertemu tak lebih dari sebulan.
Juga bisa mencari dokumen
Sampai tahun 1988, TMS berhasil membantu lima warga RRC untuk bertemu dengan keluarganya yang tinggal di Indonesia.
Hal itu hampir tidak mungkin dilakukan sendiri oleh warga RRC akibat masih belum normalnya hubungan diplomatik kedua negara.
Dalam hal ini TMS membantu warga RRC untuk mendapatkan izin masuk ke Indonesia. "Tahun 1989 ini baru ada satu permintaan dari warga RRC untuk bertemu dengan keluarganya di sini, dan sekarang masih dalam proses," kata Yuli.
Tugas TMS terkadang tidak cuma melacak orang saja, tetapi juga dokumen pribadi. Orang Belanda, atau keluarganya, yang dulu ter libat konflik perang di Indonesia ada yang ingin memperoleh kembali dokumen pribadi mereka.
Misalnya saja, surat kelahiran, surat tawanan perang atau surat kematian yang mungkin berguna untuk mendapatkan uang pensiun, biaya pengobatan dsb.
Cuma, menemukan kembali dokumen itu bukan pekerjaan yang mudah. Petugas TMS sering terbentur dengan sistem pengarsipan yang belum memadai.
Terkadang waktu dokumen berhasil ditemukan, kondisinya sudah hancur-lebur tak keruan. Huruf-hurufnya sudah tak lagi terbaca.
Maklum, dokumen yang dicari rata-rata berumur tua.
Tidak memungut bayaran
Sebagai lembaga yang berkiprah di bidang kemanusiaan, TMS-PMI tidak memungut bayaran. Apalagi mencari untung. Soal biaya, menurut Yuliani, tidak ada masalah.
Selama ini gerak-laju kegiatan TMS mengandalkan kocek Central Tracing Agency pada Komite Internasional Palang Merah.
Pada tahun 1988 misalnya, TMS membelaniakan Rp 57 juta lebih. Jumlah ini mengecil bila dibandingkan dengan tahun 1986 atau 1987.
TMS yang dimotori ibu muda itu didukung 12 orang staf, termasuk dua orang supir. Empat orang di Tanjung Pinang dan P. Galang, enam orang di Jakarta dan dua orang di Dili, Timor Timur.
Mereka kebanyakan berstatus tenaga honorer atau kontrak. Mengapa? "Dulu, TMS ini merupakan proyek PMI yang dibentuk untuk membantu pengungsi Vietnam. Kalau para pengungsi Vietnam itu semua sudah meninggalkan Indonesia, ya TMS ini ditutup," ujar Ny. Yuliani.
Namun, katanya, melihat pentingnya lembaga ini dan semakin meningkatnya permintaan bantuan masyarakat dari dalam maupun luar negeri, lembaga kemanusiaan ini tidak akan disudahi.
Bahkan, di masa datang TMS siap melebarkan sayap kegiatannya. Antara lain mengembangkan pelayanan untuk peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan perpisahan atau terputusnya komunikasi antaranggota keluarga.
Misalnya saja, kalau terjadi bencana alam gunung meletus atau banjir bandang. Malah sekarang sedang dirintis kerja sama dengan Depnaker RI untuk nantinya melayani para TKI, TLW atau keluarganya yang mungkin membutuhkan bantuan TMS.
Anda juga perlu bantuan TMS? Hubungi saja PMI terdekat. • (Heru)