Intisari-Online.com - Pesiar malam di Turki kurang cespleng tanpa nonton tari perut. Begitu anggapan fotografer lepas dari Singapura, Steve Teo.
Gendang makin bertalu-talu ketika tubuhnya yang lemah gemulai meliuk-liuk mengikuti irama padang pasir itu; otot-otot perutnya ‘melata-lata’ seperti puluhan ular; kedua pahanya yang kekar bergetar-getar; gelang di pergelangan kaki, di bawah betis yang seputih pualam, bergemerincing nyaring; jari-jemari lentik bertepuk-tepuk ritmis di atas kepalanya.
Kemudian dia mengayunkan lengannya dengan suatu gerakan gemulai, bahunya berguncang-guncang mengikuti entakan irama.
Lambat laun petikan sitar seperti menebarkan kehangatan di dadanya.
Musik yang mendayu-dayu bagaikan membius para penonton yang terpukau oleh kepiawaian sang penari.
Gesekan dawai biola membelai tatapan sayu dari balik mata bermaskara tebal.
Bibirnya yang basah merekah sangat sensual; wajahnya merona merah penuh gairah.
Kemudian musik mengubah suasana hatinya. Dia melemparkan kerlingan-kerlingan nakal.
Goyang tubuhnya semakin lincah. Dia berputar-putar, dan gaunnya ikut mengalun.
Tangannya menyibakkan rambut, menyingkapkan tengkuk yang jenjang dan punggung telanjang.
Kedua kaki yang ramping direntang, tubuh diregang ke belakang.
Cahaya lampu menyoroti butrr-butir keringat yang menetes dari dada.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR