Tugas dilakukan dengan cepat dan kedua pasukan segera undur diri setelah tugas mereka rampung.
Namun di Korea, kenyataannya tidaklah semudah itu. Tatkala MacArthur menerbitkan pedomannya, pasukan Soviet sudah bercokol di utara garis ke-38 selama beberapa hari setelah memasuki Korea sejak 11 Agustus.
Sedangkan pasukan AS masih dalam proses pengangkutan ke Korea.
Panglima Korps XXIV Letjen John R. Hodge adalah perwira lapangan yang tidak dibekali tugas politik memimpin pemerintahan militer di selatan garis ke-38.
Apalagi keinginan AS hanyalah keluar secepatnya dari Korea, mengingat hasil studi Kepala Staf Gabungan AS tahun 1947 menyimpulkan, Korea tidak begitu penting buat AS. Sikap ini pun diamini oleh Deplu AS.
Di pihak lain, Soviet tahu sekali apa yang diinginkannya. Seperti pada tahun 1903, kini pun Rusia menghendaki adanya “buffer state”, negara penyangga yang bersahabat di perbatasan Asia Timur-nya.
Moskwa paham betul, pemerintahan seperti apa yang paling sesuai buat kepentingannya.
Karena itu tanpa membuang waktu, pada 3 Oktober 1945 dia mengenalkan Kim Il-sung sebagai pemimpin Korea Utara yang akan membentuk pemerintahan komunis sesuai pola Soviet.
Para kader yang telah berpengalaman dalam pengasingan di China atau Rusia, dimanfaatkan dengan cepat.
Sehingga pada 9 September 1948, Republik Rakyat Demokratik Korea (Korut) sudah dapat diproklamasikan sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Berlainan dengan proses politik di utara, maka di selatan AS mencoba memasukkan kemerdekaan Korea dalam agenda PBB.
Namun PBB tidak memperoleh kerjasama dari pihak Korea Utara. Karena itu di Korea Selatan pada Mei 1948 diadakan pemilu, yang memilih Majelis Nasional dan Syngman Rhee sebagai presiden pertama Republik Korea.
Negara ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 15 Agustus 1948, bersamaan dengan berakhirnya pendudukan tentara AS di Korsel.
Kini Semenanjung itu pun resmi terbelah menjadi dua negara, walau mereka sesungguhnya betul-betul satu bangsa yang homogen, dengan bahasa dan budaya yang sama serupa.
Mereka sesungguhnya punya idealisme sama, ingin mempersatukan bangsa dan tanah airnya.
Namun ideologi dan berbagai kepentingan lainnya, telah menjauhkan cita-cita itu.
Mereka kini bukan hanya terpecah, namun juga saling bermusuhan dengan sikap antipati, saling siap membunuh dan menghancurkan satu sama lain.
Perang saudara telah mereka alami dengan hebat dan penuh kesengsaraan tahun 1950-53.
Namun perang ini resminya belum berakhir, karena mereka tidak mencapai persetujuan damai, hanya sekadar gencatan senjata, yang setiap waktu dapat meletup lagi.
Bahkan kini dengan eskalasi yang luar biasa, karena masuknya ancaman senjata nuklir.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR