Menanggapi kisruh beras premium ini, Prof. Firdaus menjelaskan secara rinci kondisi di lapangan saat ini tentang proses perdagangan beras.
Prof. Firdaus menyoroti Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp9.500.
Menurutnya, angka ini mustahil diterapkan karena kita lihat kalau harga pembelian dari produsen itu minimun Rp7.000-an, maka tidak mungkin beras premium sampai di konsumen melalui supermarket dengan harga Rp9.000-an.
''Hitung-hitungan untuk kembali pokok, harga itu harus Rp12 ribuan. Kalau pedagang atau supermarket mau ambil untung itu minimum Rp15 ribuan. Pedagang beli di petani beras sebesar Rp 7.500, lalu ada proses pengangkutan ke gudang, kemudian diolah, mungkin
(Baca juga: )
''Ya paling pencampuran, pengemasan dan packaging. Hanya itu. Biaya pengangkutan hingga pengemasan itu tidak mungkin hanya Rp2 ribuan. Kalau untuk beras yang levelnya premium apalagi belinya di supermarket ada yang namanya listing fee 30 persen. Maka harga beli di produsen dan supermarket itu mengalami kenaikan dua kali lipat. Biasanya 30 persen biaya, untungnya 70 persen dibagi dua untuk supermarket dan distributor. Nah kalau Rp7 ribu ke Rp9 ribu, apakah itu mungkin? Selain itu, kalau ini kita terapkan ke beras, karena mendapatkan subsidi dari pemerintah, lalu bagaimana dengan produk yang lain? Logikanya begitu. Apakah kalkulasi HET itu sudah benar apa belum. HET untuk beras medium masih oke, tapi kalau beras premium tidak mungkin,'' terangnya.
Prof. Firdaus juga memaparkan tentang riset yang sudah dilakukannya sejak tahun 1998 tentang karakteristik beras di 22 pasar eceran di Jakarta (hingga pasar induk Cipinang).
Beras pandan wangi yang dijual di pasar sebetulnya bukan beras pandan wangi 100 persen, tetapi hanya 40 persen.
Risetnya di Cianjur juga mengungkapkan bahwa semua penggilingan tidak ada yang menjual beras padan wangi 100 persen, karena harganya bisa mencapai Rp40 ribu per kilogram.
''Tidak mungkin harga beras pandan wangi Rp15-20 ribu. Itu mungkin kandungan beras pandan wanginya sekitar 20-30 persen. Sisanya mungkin beras Ciherang, karena paling mirip. Tanya pedagang di sana (Pasar Induk Cipinang) itu yang terjadi,'' ujarnya.
Menurutnya, ini bukan sebuah kebohongan, karena beras tidak mengalami perubahan bentuk.
Contohnya bubuk kopi. Saat dijual eceran oleh petani harganya mungkin hanya Rp3 ribu per kilogram, tapi saat sudah dijual di Starbuck harganya naik tajam.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR