Satu porsi standar berisi sepuluh tusuk sate plus satu lontong. Tak ada nasi di tempat ini. Tanpa lontong pun sebetulnya sepuluh tusuk Sate Pertamina sudah cukup mengenyangkan karena potongan dagingnya besar-besar.
Begitu sate disantap, kesan pertama adalah empuk. Empuknya merata di seluruh bagian daging. Bukan hanya bagian luarnya yang matang.
“Satenya bisa empuk karena kami pakai daun pepaya,” kata Hasan, si tukang bakar, sambil menunjuk daging yang sedang di-kekep (ditutup) dengan daun pepaya di sebelahnya.
Kita tahu, daun ini mengandung enzim papain yang bisa mengemukkan daging.
Sama seperti sate ayam pada umumya, bumbu sambalnya terbuat dari kacang, bawang merah, bawang putih, dan cabai merah. Tak ada yang khusus.
(Baca juga: Jadi Kota Kuliner, Tegal Lahirkan Sushi Ubi dan Soto Taoco)
Tapi begitu semua bumbu yang biasa itu teracik di piring, kelezatan sate sama sekali tidak bisa dibilang biasa. Bumbunya mak-nyem.
Di warung ini, sate dihidangkan tanpa sendok dan garpu. Pembeli harus makan dengan cara tangan kiri memegang piring, sementara tangan kanan bertugas mengeksekusi daging di tusuk bambu satu demi satu.
Daging sate langsung digigit dari tusuknya. Tusuk bambu yang telah kosong berfungsi sebagai garpu untuk mencocol lontong.
Sembari menikmati sate, kita bisa melihat tukang bakar unjuk keterampilan. Tangan kiri membolak-balik seratusan tusuk sate di atas tungku, sementara tangan kanan mengipasi bara dengan kipas anyaman bambu.
“Dulu pernah pakai kipas angin tapi dagingnya alot, matengnya enggak rata,” kata Hasan sambil menyemprotkan minyak kacang di atas sate.
Wussss!! Asap mengepul dari tungku. Tentu saja tambahan minyak kacang ini bukan sekadar atraksi. Minyak ini berfungsi membuat sate matang lebih rata, juga tampak berminyak, menggoda selera.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR