Risikonya seperti yang sudah digambarkan di atas. Selain itu, lampu-lampu isyarat yang berada di ujung landasan tersapu pesawat. Pesawat terperosok dan tertahan oleh semak-semak dan gundukan tanah.
Baca Juga : Tragedi Silk Air Terjun Bebas ke Sungai Musi, Pilot Diduga Ingin Ajak Penumpang Bunuh Diri Bersama
Manajemen risiko pilot sangat tergantung kualitas, profesionalisme, dan pengalaman pribadinya. Untuk memperoleh pilot yang cakap dan berkualitas diawali dengan seleksi yang ketat.
Kesamaptaan fisik dan mental serta bakat keterampilan disaring secara sungguh-sungguh. Kemudian upaya lanjutan, yaitu pengecekan berkala terhadap kondisi fisik mental dan kemampuan teknik terbang dilakukan setiap enam bulan.
Tidak kalah pentingnya adalah peran Pendidikan dan Pelatihan dari perusahaan di mana kapten penerbang bekerja. Penyelenggara pendidikan harus berada di tangan orang-orang yang cakap, profesional, berpengalaman luas, dan berdedikasi tinggi. Seharusnya, hal-hal itu menjadi obsesi setiap perusahaan penerbangan.
Kondisi pilot yang menjadi perhatian khusus dalam disiplin ilmu "human factors" memerlukan pengelolaan dan perhatian. Sebagai manusia, penerbang tak lepas dari kekurangan.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng : Cerita Pilot Batik Air Saat Melihat Gelombang Aneh di Pesisir Pantai Palu
Untuk itu, pilot harus senantiasa melatih dan menyiapkan kemahiran teknis terbangnya. Juga kondisi fisik kesehatan dan ketenangan jiwanya.
Kondisi penerbang yang sedang menghadapi masalah, semisal kelelahan atau menanggung beban mental dalam tugasnya, niscaya akan mempengaruhi perilakunya, termasuk dalam mengambil keputusan.
Persoalan keseharian pun tak urung membebani sang pilot. Entah persoalan di kantor atau rumah tangga. Atau kejelasan masa depannya sehubungan derigan krisis moneter saat ini.
Bagaimana dengan kelangsungan nafkahnya, juga pemenuhan harapan-harapannya? Semua persoalan itu bisa saja terbawa dalam pikiran penerbang saat bertugas.
Baca Juga : Kisah Pilot Helikopter yang Harus Terbang Maut Demi Satu Nyawa di Anjungan Pengeboran
Peraturan perusahaan penerbangan mengharuskan pilot tetap ekstra waspada sebelum pesawat dalam posisi straight and level (menjelajah dalam ketinggian 10.000 kaki).
Pilot dilarang bicara persoalan lain kecuali pembicaraan teknis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengoperasian pesawat sampai penerbangan mencapai ketinggian aman itu. Pada saat-saat kritis, awak kabin atau pramugari dan penumpang tidak boleh mengganggu konsentrasi pilot.
Melihat kasus F-28 MNA tadi, temyata pilot terbang pada leg (bagian alur penerbangan) terakhir karena, bila berhasil melakukan perjalanan dari Kendari ke Ujungpandang, mereka akan beristirahat untuk terbang pada hari berikutnya.
Landasdn terbang yang pendek dan berair memerlukan teknik terbang dan pertimbangan khusus.
Baca Juga : Pengalaman Mencari Helikopter yang Jatuh di Laut Jawa, Pilotnya Ditemukan 'Sarungan' dan Sedang Main Bola
Penumpang yang hampir penuh (70%) serta angkutan barang dan bagasi yang cukup sarat - plus membawa jenazah - memberikan faktor lain; membuat kedua penerbang harus ekstra hati-hati.
Namun kehati-hatian yang amat sangat juga bisa menjurus ke perilaku obsesif kompulsif yang rawan.
Meskipun sebuah penerbangan melibatkan banyak orang (petugas bandara, pengamat cuaca, petugas bahan bakar, dll.), ketika penumpang sudah selesai boarding, pintu kabin ditutup, dan pesawat diizinkan berangkat, semua tanggung jawab keselamatan penerbangan yang menyangkut pesawat berada di pundak kapten pilot.
Sungguh tragis, ketika ia menuju ke langit kebebasan, kesalahan kecil bisa berakibat fatal!
Baca Juga : Hanya Seorang Diri, Pilot Pesawat Tempur P-51 Ini Lindungi Seluruh Skuadron dari 30 Jet Tempur Jerman
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR