Yang dicari adalah senjata. Mereka bertindak cukup sopan. Kebetulan yang datang adalah serdadu-serdadu Belanda totok.
Di antara pejabat-pejabat penting yang tidak ditangkap oleh tentara Belanda dan tetap tinggal di Yogyakarta terdapat Menteri Perhubungan Ir. Djuanda.
Baca Juga : Nilai Tukar Rupiah Melemah, Indonesia Justru Masuk Daftar Negara dengan Risiko Krisis Moneter Paling Kecil
Pada akhir bulan Desember 1948 saya diminta datang oleh Ir. Djuanda untuk datang di rumah beliau, untuk diserahi suatu tugas.
Soalnya ialah sbb: Kabinet Amir Sjarifudin ke I memutuskan untuk mengeluarkan semua "uang merah", yaitu uang Belanda, yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang disimpan di Javansche Bank (Bank Indonesia) dari bank tersebut untuk selanjutnya disimpan di istana Paku Alam di bawah tanggung jawab Sri Paku Alam.
Uang ini telah dipergunakan Pemerintah untuk keperluan-keperluan penting. Saya diperintahkan untuk mempergunakan sisa uang itu untuk membantu perjuangan para pegawai R.I. yang masih setia kepada R.I.
Menurut penjelasan Ir. Djuanda, tugas yang sama akan tetapi untuk para anggota ABRI, dilakukan oleh Pangeran Bintoro dengan petunjuk-petunjuk dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX.
Baca Juga : Sri Mulyani: Tiap Rupiah Melemah Rp100, Penerimaan Negara Naik Rp4,7 Triliun
Saya adalah teman sekuliah dengan Sri Paku Alam waktu di Rechtshogeschool di Jakarta.
Kepada saya diperbantukan sdr. Soebagjo (aim), pada waktu itu sekretaris Kementerian Keuangan dan kebetulan juga termasuk masih kerabat (bahasa Jawa: sentono) Paku Alaman, dan seorang lain yang sudah tidak ingat namanya lagi.
Dalam pada itu Ir. Djuanda tidak memberikan petunjuk apa-apa kepada saya. Beliau mempercayakan pelaksanaannya kepada saya seluruhnya. Beliau hanya berpesan, bahwa kita (pegawai RI) harus dapat bertahan sedikit-sedikitnya sampai bulan Juli 1949.
Kami harus beroperasi di daerah yang seluruhnya dikuasai oleh musuh.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Adrie Saputra |
KOMENTAR