Setibanya kembali di Malioboro 10 saya berikan pada sang kusir 15 sen ORI. Hampir tidak dapat dipercaya, sang kusir menyambut pembayaran saya itu dengan : "matur nuwun, den." (terima kasih, den-raden).
* * *
Dalam bulan Nopember 1946, waktu saya untuk keperluan dinas beberapa hari berada di Jakarta, saya mengetahui dengan bangga, bahwa imbangan uang ORI terhadap "gulden" adalah Rp. 1,- ORI sama dengan 1,60 gulden.
Para pedagang, penduduk asli Jakarta sangat gembira kalau "orang kiblik" membayar mereka dengan ORI; malahan ada seorang pedagang yang penuh haru mencium ORI ini. Demikianlah penduduk Jakarta menyambut uang Republik.
Yang menjadi problem waktu itu ialah bagaimanakah caranya memasukkan ORI itu ke Jakarta. Hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan Menteri Perhubungan.
Untuk mengangkut pembesar-pembesar R.I dari Yogyakarta ke Jakarta dan sebaliknya, pada waktu itu (1946) dipergunakan apa yang disebut KLB (kereta api luar biasa) Pemerintah.
Pada suatu sore sesudah tutup kantor pada akhir bulan Oktober 1946 (tanggal yang tepat sudah lupa) menurut janji datanglah di Kementerian Perhubungan, Jl. Malioboro 10, sebuah truk kosong yang dikemudikan oleh sdr. Basuki (pada waktu itu kepala bengkel kereta-api Pencok, Yogyakarta).
Baca Juga : Jos, Mantan Office Boy yang Berhasil Jadi Bos Empat Perusahaan Beromzet Puluhan Miliar Rupiah
Di Kementerian Perhubungan telah siap menanti-antikan kedatangan truk: sdr. Ir. Abdulkarim (bekas Menteri Perhubungan R.I.,) sdr. Moh Soebari (pegawai tinggi Kem. Perhubungan) dan saya.
Diam-diam kami berempat mulai bekerja. Peti-peti berisi ORI baru dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan satu demi satu dimasukkan ke dalam truk. Karena tidak ada tempat lain, uang berjuta-juta itu hanya disimpan di kamar mandi dan di kamar kerja Menteri, yang untuk keperluan itu selama beberapa waktu tidak dipakai.
Setelah peti-peti yang harus diangkut selesai dimuat, maka truk dengan muatannya menuju ke bengkel k.a. Pencok. Di sini telah siap rangkaian KLB Pemerintah yang esok harinya akan diberangkatkan ke Jakarta.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Adrie Saputra |
KOMENTAR