Intisari-Online.com - “Bau udara di sini di Palu layaknya bau mayat yang telah membusuk.”
Begitu pembukaan tulisan Jennifer Nourse, seorang antropolog dari University of Richmond, Virginia, AS, di Huffington Post.
Tulisan yang tayang pada Kamis, 11 Oktober 2018 itu berjudul “I’ve Watched This Indonesian City Prosper For Decades—And Now A Tsunami Has Destroyed A Generation Of Growth”.
Jennifer mengaku sudah mengunjungi Palu selama 38 tahun terakhir sebagai bagian dari dari kerja antropologisnya.
Baca Juga : Masih Banyak Korban Belum Ditemukan, Mengapa Pemerintah Hentikan Pencarian Korban Gempa dan Tsunami Palu?
Ia pertama kali datang ke Palu pada 1980, dan sejak saat itulah ia langsung terpesona dan jatuh cinta dengan ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu.
Waktu itu, Palu, tulis Jennifer, adalah sebuah kota kuno yang hanya terdiri atas 30 ribu orang.
“Pagar kayu putih mengelilingi rumah-rumah penduduk, dan banyak bangunan berarsitektur kolonial berdiri kokoh di sana,” ujarnya.
Palu waktu itu, menurut Jennifer, merupakan satu dari sedikit wilayah di Sulawesi Tengah yang jalannya sudah beraspal, saluran airnya lancar, dan sudah dialiri listrik.
Maklum saja, waktu itu umur Palu sebagai ibu kota provinsi baru tiga tahun.
Meski terpesona dengan Palu, Jennifer tidak memilih kota itu untuk jadi objek penelitiannya.
Ia lebih tertarik pada Lauje, satu dari 32 kelompok etnis yang ada di Sulawesi Tengah.
Orang-orang Lauje tinggal di rumah-rumah yang terbuat dari anyaman bambu di wilayah pegunungan di atas Tinombolo, sekitar tujuh jam perjalanan dengan mobil dari Palu.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR