Upah para werek ditentukan berdasarkan banyaknya kuli kontrak yang berhasil dikumpulkannya. Karena itu tidak aneh kalau mereka lalu menggunakan segala cara untuk bisa mengumpulkan calon kuli kerja sebanyak mungkin.
Baca Juga : Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia
Caranya bisa berupa tipuan, rayuan gombal, penculikan atau bahkan dengan menggunakan ilmu sirep. Seperti yang pernah dialami seorang wanita Jawa di Suriname.
"Pada suatu hari, saya sedang berjalan kaki pulang dari kota ke desa saya. Di tengah jalan saya berjumpa dengan seorang pria asing dan lalu kami mengobrol. Mula-mula dia bertanya soal hasil sawah sampai soal apa yang saya kerjakan di kota.
Lalu dia bertanya, apa saya mau punya uang banyak? Pria itu mengaku bisa mengurus supaya saya bisa diterima bekerja di 'tanah sabrang' selama dua tahun dengan upah yang besar.
"Tapi saya bilang, saya tidak bisa meninggalkan keluarga saya di desa. Lalu tiba-tiba dia menginjak kaki saya dan mulutnya komat-kamit melafalkan mantera berbahasa asing. Sesudah itu tiba-tiba saya tak ingat lagi kepada keluarga. Sehingga saya menyetujui tawarannya untuk pergi ke 'tanah sabrang'.
Orang asing itu membawa saya ke sebuah barak yang sudah penuh dengan orang-orang Jawa. Setelah jumlah kami dianggap cukup, kami lalu dibawa ke kapal. Setiap orang diberi kartu pengenal dari logam yang bertuliskan nomor kami.
Kartu pengenal itu digantungkan di leher. Kapal pun berangkat. Ketika kapal mulai beranjak beberapa meter saja, saya tiba-tiba tersadar. Pengaruh sihir itu rupanya cuma berlaku di tanah Jawa.
Saya lalu menangis, begitu pula orang-orang yang ikut bersama saya juga pada menangis. Namun, semuanya itu sudah terlambat „...." Kisah itu konon pengakuan seorang wanita Jawa di Suriname pada antropolog Belanda, Prof. De Waal Malefijt, tahun 60-an.
Kebanyakan dari mereka memang sebenarnya tidak ingin pergi ke "Srinama", begitu mereka menyebut "tanah sabrang" itu. Seperti juga cerita seorang informan wanita pada Dr. Yusuf Ismael (almarhum diplomat senior RI).
Baca Juga : Salah Satu Warisan Kolonial yang Wajib Kita Tinggalkan: Larangan Mandi di Malam Hari
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR