Padahal, menurut dr. Wiendarto, Sp.KJ., orang yang secara kasatmata terlihat baik-baik, belum tentu kesehatan jiwanya optimal (dalam batas kewajaran). Jadi masih terdapat kemungkinan kesehatan jiwanya terganggu.
Ketika gangguan jiwa mendera, kita sering tidak tahu. Soalnya, fungsi tahu (insight) kita, yang merupakan salah satu bentuk fungsi jiwa, malah menjadi kurang berfungsi.
Baca Juga : Film-film Ini Bisa Bantu Kita Memahami Kesehatan Jiwa
Memang sedikit aneh. Semakin parah jiwa kita mengalami gangguan, justru semakin kita tidak tahu. Sehingga ketika gangguan jiwanya sudah berat, kita malah tidak menyadari gangguan itu.
Ini pula yang membedakannya dengan sakit badan. Saat fisik kita sakit, kemampuan tahunya tidak terganggu, sehingga makin sakit kita makin tahu bahwa badan kita sedang sakit.
Kepala UPF Anak dan Remaja RS Marzuki Mahdi (dahulu dikenal sebagai RSJ Cilendek) Bogor, itu juga mengungkapkan, orang enggan mengunjungi psikiater akibat adanya stigma negatif bahwa orang yang datang ke dokter jiwa adalah penderita gangguan jiwa berat.
Padahal, psikiater menangani pasien dengan gangguan jiwa yang gradatif, dari ringan hingga berat.
Baca Juga : Pawiyatan Luhur, Museum Kesehatan Jiwa di Kota Magelang
Data pun menunjukkan, jumlah orang dengan gangguan jiwa berat sebenarnya jauh lebih sedikit ketimbang yang mengalami gangguan jiwa ringan.
Wiendarto berharap stigma itu akan semakin berkurang karena di Indonesia stigma itu terasa masih sangat nyata. Akibatnya orang baru mencari psikiater apabila penyakitnya sudah berjalan agak lama dan cenderung lambat.
"Dengan berkurangnya stigma buruk itu diharapkan lebih banyak orang yang akan mencari psikiater, tanpa rasa malu. Maka ia akan mendapat pengobatan lebih dini dengan hasil lebih baik," tutur Wiendarto.
Berbeda dengan pemeriksaan fisik, dalam pemeriksaan jiwa ini tidak ada jadwal pemeriksaan rutin. Gangguan jiwa memang tidak bisa diukur dalam angka, seperti pada pemeriksaan laboratorium.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR