Ikat kepala sebagai alat pembunuh
Ketika Pangeran Norodom Sihanouk digulingkan oleh jenderalnya, Lon Nol, Pol Pot mulai beraksi bersama pasukan Khmer Merahnya.
Saat itu adalah tahun 1970. Lon Nol bersama pasukannya yang merupakan boneka Amerika dibantai Khmer Merah.
Pol Pot bahkan mempersenjatai para petani yang tadinya tak pernah ikut apa-apa. Seorang pemuda yang ikut Khmer Merah, Pho Phorn, bercerita tentang situasi saat itu di Kompong Speu, sebelah barat Phnom Phen, yang merupakan bekas dari salah satu tempat pembantaian atau killing field.
Baca Juga : Saat Kunjungan Pertamanya sebagai Presiden RI, Soeharto Justru Disuguhi Tari 'Genjer-genjer' di Kamboja
Pho yang waktu itu baru berumur 15 tahun berkata, "Para prajurit Lon Nol itu pengecut. Mereka membakari rumah-rumah, memperkosa wanita, dan menembaki orang tua. Mereka menyerbu desa-desa yang melakukan kerja sama dengan kami. Dengan tangan telanjang, kami menangkapi mereka satu-persatu dan mencekiknya."
Tentu saja dengan ikat kepala berwarna merah yang di samping warnanya yang mengandung unsur politis, ikat itu juga berfungsi sebagai penutup kepala, ikat leher, alas tidur, atau alat pembunuh yang tak menimbulkan suara.
Melihat semua itu, Amerika tidak tinggal diam. Presiden Nixon memerintahkan untuk mengebom Kamboja dengan dibantu pasukan Vietnam Selatan dan Muangthai. Kira-kira 500.000 ton bom dijatuhkan di Kamboja sampai tanggal 15 Agustus 1973.
Bom-bom itu menghujani pasar, pagoda, dan pasukan pemerintah Lon Nol. Namun, bom-bom itu jarang mengenai pasukan gerilya Khmer Merah yang suka beroperasi secara kilat dari dalam hutan.
Baca Juga : Ketika Perang Vietnam, Benarkah Gerilyawan Viet Cong Takut Kegelapan?
"Kami berhasil merampas kode rahasia mereka," kata Pho Phorn. "Dengan cara itu, kami mengirim laporan yang salah tentang kedudukan kami kepada stasiun radar Amerika. Akibatnya, mereka menghujani bom ke orang mereka sendiri dan orang-orangnya Lon Nol."
Orang Kamboja terpaksa menyaksikan kehancuran negeri mereka tanpa kuasa berbuat apa-apa. Mereka sama sekali tidak tahu tentang percaturan politik di Washington, Beijing, Moskwa, dan Hanoi.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR