Ternyata Partai Komintang menang, namun sayang, calon Perdana Menteri dari partai itu terbunuh pada 20 Maret 1913. Yuan Shikai diduga berada di balik pembunuhan politik itu.
Inspirasi sopir taksi
Yuan pun mulai menunjukkan belangnya dengan memindahkan ibukota dari Nanjing ke Beijing. Parlemen di daerah dibubarkan dan di setiap provinsi diangkat gubernur militer. Bahkan Yuan Shikai mulai berpikir untuk menjadi Kaisar.
Baca Juga : Alga Mewarnai Laut Mati di Tiongkok Menjadi Hijau dan Merah Muda
Ketika pada 1915 Jepang mengultimatum Tiongkok dengan perjanjian 21 pasal, Yuan Shikai mau menerima sebagian di antaranya dengan syarat: Jepang mau mendukungnya jadi Kaisar.
Yuan Shikai mengadakan konvensi politik. Pada 20 November 1915, konvensi ini menyetujui gagasan Yuan Shikai menjadi Kaisar dengan alasan Tiongkok belum siap dengan demokrasi cara Barat.
Persis 12 Desember 1915, Yuan Shikai memproklamasikan dirinya sebagai Kaisar dari Kerajaan Tiongkok. Partai Kuomintang dibubarkan dan Sun Yat-sen lari ke luar negeri.
Setelah itu, satu demi satu bawahan Yuan Shikai memberontak. Akhirnya pada 22 Maret 1916, Yuan Shikai melepaskan takhta kekaisarannya dan kembali menjadi presiden sementara, sebelum akhirnya meninggal karena sakit (6 Juni 1916).
Baca Juga : Apa Fungsi Sebenarnya dari Pesawat Amphibi Terbesar di Dunia Buatan Tiongkok Ini?
Pada 1917, Sun Yat-sen kembali dari luar negeri dan membentuk pemerintah militer di Guangzhou dengan dukungan para penglima perang di Selatan. Kuomintang pun dihidupkan kembali.
Saat muncul ide perlunya mempunyai tentara, dibentuk akademi militer di Wahmpoa dengan Chiang Kaishek sebagai komandannya. Pada 1921, Sun Yatsen menjadi presiden darurat dan panglima tertinggi.
Hal ini mengundang konflik karena bertentangan dengan konstitusi 1912. Masalah lainnya adalah bagaimana menyatukan kembali para panglima perang yang sudah menguasai provinsi-provinsi. Maka direncanakanlah program ekspedisi ke Utara.
Pada 1924, antara 27 Januari 1924 - 24 Agustus 1924, Sun Yatsen berturut-turut memberi ceramah tentang Sanminzhuyi. Ceramah itu kemudian dibukukan sebagai pedoman bagi Partai Kuomintang.
Baca Juga : Uber Dikalahkan Didi di Tiongkok, Waktunya Fokus ke India?
Di salah satu ceramahnya, Sun Yat-sen bercerita tentang peristiwa naik taksi di Shanghai:
"Suatu waktu, saya tinggal di daerah konsesi Prancis dan ada janji bertemu seseorang di Hongkew. Cuma ada waktu 15 menit, padahal jarak ke Hongkew cukup jauh. Saya panggil taksi dan menanyakan kesanggupan sopirnya untuk ke sana dalam waktu 15 menit.
Si sopir menyanggupi. Taksi pun berlari cepat tetapi tidak mengarah ke Hongkew. Tentu saya merasa ditipu, tapi anehnya dalam waktu kurang dari 15 menit saya sampai ke tujuan.
Saya bertanya lagi pada si sopir. Dia menjelaskan, jalan langsung sering macet sehingga ia menempuh jalan memutar.
Baca Juga : Jamur Raksasa Sebesar 66cm Ditemukan di Tiongkok
Kalau berkukuh supaya taksi menempuh jalan langsung, saya tidak akan tiba tepat waktu. Sopir taksi itu lebih mengetahui medan dan memiliki kecakapan untuk pekerjaannya."
Demikian halnya kegiatan pemerintahan. Ada kalanya rakyat melihat Pemerintah tidak berjalan di atas jalan yang seharusnya. Tapi Pemerintah memiliki kecakapan untuk menempuh jalan terbaik untuk mencapai tujuan dan jalan itu belum tentu berupa jalan langsung.
Sayang, Sun Yat-sen tak lama menjadi inspirasi negerinya. Tubuhnya digerogoti kanker, sehingga ia mesti berobat ke Beijing.
Pada 12 Maret 1925, Sun Yat-sen wafat dan dimakamkan di Nanjing. Sebelum wafat, Sun Yat-sen sempat menulis testamen, yang kelak dibacakan di setiap upacara kenegaraan.
Baca Juga : Tiongkok Resmikan Patung Dewa Perang Super Besar Setinggi 58 Meter dan Seberat 1.320 Ton
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR