Bung Karno juga memberi angin, antara lain dengan memberi Bintang Mahaputera kepada DN Aidit, Ketua Umum Komite Sentral PKI yang juga menjabat Menteri Koordinator, pada 13 September 1965.
Sebelumnya, saat PKI merayakan hari jadi ke-45 secara besar-besaran di Jakarta, 23 Mei 1965, Bung Karno meneriakkan semangat kebersamaan, "... dia kerabat dan juga sahabatku. Kalau PKI mati, aku akan merasa kehilangan."
Banyak tokoh PKI memegang posisi kunci di pemerintahan. Bahkan Njoto adalah penulis pidato Presiden Sukarno. Sulit membedakan antara seorang Komunis atau Sukarnois.
Baca Juga : Tan Malaka, Pendiri Sekaligus ‘Korban’ PKI yang Pernah Memimpikan Bersatunya Kekuatan Islam
Karena kepercayaan diri yang besar itu, Aidit tak segan-segan mengritik Jenderal Nasution, Jenderal Ahmad Yani, dan para perwira tinggi militer lain.
Aidit bahkan berani menyindir dengan menyebutkan pemimpin yang diragukan kualitasnya karena beristri lebih dari satu orang – di depan Bung Karno.
Dewan Jenderal
Hubungan PKI dengan Bung Karno berubah setelah Bung Karno menderita sakit pada awal Agustus 1965. Ada kekhawatiran, penyakit itu akan berlangsung lama, bahkan permanen.
Baca Juga : Hari-hari Menjelang G30S PKI, Genjer-genjer Lagu yang Hits Ketika Itu
Strategi PKI yang selama itu memanfaatkan perlindungan Presiden, berubah. Apalagi Angkatan Darat mulai melancarkan tekanan, dan di masyarakat pun demonstrasi anti-PKI bermunculan.
Lantas ada isu Dewan Jenderal: sekelompok perwira tinggi Angkatan Darat akan mengambil alih kekuasaan di saat presiden sakit. Momentum terdekat adalah peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965.
Resah dengan kabar itu, Presiden Sukarno sedianya akan memanggil Menteri Panglima AD Letjen A. Yani pada 1 Oktober untuk membahasnya.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR