Di sana seorang bintara Polisi Militer mulai menyusun proses verbal di atas mesin tik.
Dengan demikian, pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965, saya berada di suatu tempat yang letaknya hanya kurang lebih 500 meter saja dari tempat kediaman Pak Yani.
Hawa mulai sejuk, sedangkan nyamuk mulai menyerang dengan hebatnya. Keadaan badan saya yang sudah sakit, tambah tidak enak lagi karena lelah dan kurang tidur.
Saya memikirkan keluarga di rumah yang tidak tahu bahwa sesungguhnya saya sudah ada di kota Jakarta.
Sekonyong-konyong kami mendengar rentetan tembakan singkat senjata ringan dari arah utara. Saya bertanya kepada bintara yang sedang bertugas di ruang piket, kira-kira tembakan apa itu.
Bintara menjawab, bahwa kedengarannya seperti dari arah markas artileri di Jalan Mangunsarkoro.
Tak lama kemudian datang berlari-lari beberapa prajurit berpakaian lengkap PDL-T (dengan topi baja dan “pakaian kuda”), tetapi mereka tidak membawa senjata.
Mereka langsung masuk ke kamar piket. Karena berada di luar ruangan, saya tidak mendengar apa yang mereka laporkan.
Tetapi beberapa saat kemudian, bintara Polisi Militer yagn bertugas itu berlari keluar dan masuk ke dalam gedung kemudian keluar lagi diiringi oleh beberapa bintara lain.
Kedengaran ribut sekali di ruang piket. Saya mendengar seorang berteriak, “Lebih baik kamu mati daripada mengawal sampai kebobolan!”
Kemudian mereka semua berlari keluar, meloncat ke dalam jeep yang sudah selalu tersedia, lalu pergi melintasi jembatan “Banjir kanal”.
Saya kemudian masuk ke ruang piket dan bertanya kepada seorang bintara tinggi yang bertugas di sana, apa yang telah terjadi.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR