Advertorial
Intisari-Online.com -Komedian Sutisna alias Sule akhirnya dinyatakan resmi bercerai dengan Lina, di Pengadilan Agama Cimahi Kelas 1A, Soreang, Kabupaten Bandung, Kamis (20/9/2018).
"Ini sudah menjadi keputusan pengadilan agama dan sudah mengabulkan gugatan pihak penggugat (Lina) dan kami sudah menerima gugatan itu. Sejak saat ini ibu Lina dan Pak Sutisna (Sule) sudah dinyatakan bercerai," ujar kuasa hukum Lina, Abdurahman T Pratomo seperti dilansir daritribunnews.com.
Selain hubungan keduanya yang kandas, perceraian keduanya diperkirakan akan melukai psikis anak-anak mereka.
Tidak hanya sedih, terkadang ada anak-anak yang justru merasa dirinyalah penyebab perceraian kedua orangtuanya.
Baca Juga : Gara-gara Teknologi Canggih Israel, Etiopia yang Sangat Miskin Akhirnya Jadi Surga Pertanian nan Makmur!
Dampak kepada anak sudah menjadi konsekuensi sebuah keputusan cerai yang diambil orangtua.
Kendati demikian, orangtua masih bisa meminimalkan dampak buruk di hati buat hati mereka.
Simaklah sembilan langkah mengurangi dampak perceraian pada anak seperti dipaparkan dalam artikelKompas.com dengan judul "Orangtua Cerai, Anak Jadi Korban? Kurangi Dampaknya dengan 9 Tips Ini" berikut ini:
Baca Juga : Gunakan Jenazah Manusia, Perusahaan Swiss Membuat Berlian yang Harganya Sangat Mahal, Bagaimana Bisa?
1. Yakinkan anak bahwa dia selalu dicintai
Ketika salah satu orangtua tidak dapat memenuhi jadwal kunjungannya ke anak, anak sering menyalahkan diri sendiri.
Mereka akan berpikir, andai saja mereka jadi anak yang lebih baik tentu perceraian orangtuanya tak terjadi.
”Hasilnya, kepercayaan diri si anak melorot," kata Edward Teyber, Profesor psikologi di California State University, San Bernadino, dan penulis buku Helping Children Cope With Divorce.
Baca Juga : Ditanya Putin yang Keheranan Mengapa Jack Ma Pensiun Padahal Masih Muda, Begini Jawaban Pendiri Alibaba Itu
Dalam kondisi semacam ini, orangtua perlu terus meyakinkan anak bahwa dia dicintai sama seperti dulu.
Katakan kepada mereka, "ayah membatalkan janji padahal sangat ditunggu, itu salah. Tapi biar bagaimana pun ayah tetap sangat mencintaimu.”
2. Jangan tutupi situasi
Orangtua kadang bersikap tidak konsisten, dan anak bisa mengetahuinya.
Misalnya, orangtua tak bisa mengunjungi anak karena alasan flu. Namun di hari yang sama, orangtua bisa ke kantor dan menjalani rapat.
"Anda tak perlu membela, atau menutupi kondisi mantan Anda kepada anak."
“Biarkan anak mengekspersikan kekecewaannya kepada ayahnya (atau ibunya) karena ingkar janji,” kata terapis keluarga M. Gary Neuman.
Neuman adalah pencipta program terapi perceraian Sandcastles dan penulis buku Helping Your Kids Cope With Divorce the Sandcastles Way.
3. Miliki rencana cadangan
Orangtua yang tinggal bersama anak kadang harus siap dengan rencana cadangan bila pihak orangtua yang lain sering mengingkari janji pertemuan dengan anak.
Pergi menonton, berjalan-jalan ke mal, berenang, bersepeda bersama, berkemah di halaman, dan kegiatan lain yang disukai anak.
Putuskan berapa lama kalian akan menunggu ibu/ayahnya datang. Misalnya kalian akan menunggu selama 30 menit. Maka katakan begini ”kita akan menunggu ibumu/ayahmu selama 30 menit. Jika dia tidak datang, mari kita pergi menonton.”
Jika anak mengungkapkan kekecewaannya, dengarkan saja, tanpa perlu menghakimi pihak manapun.
4. Dorong anak untuk berbicara
Saat salah satu orangtua yang sudah berpisah mengecewakan anak, orangtua yang satunya dapat mendorong anak untuk bicara langsung.
Berbicara akan mengurangi rasa frustasi mereka. Jika anak belum siap untuk bicara langsung dengan ayah atau ibu yang mengecewakannya, tawarkan pilihan untuk menulis surat atau email.
5. Jadilah fleksibel
Jika Anda sebagai orangtua yang tidak lagi tinggal bersama anak, dan kebetulan berhalangan memenuhi jadwal pertemuan dengan si buah hati, tawarkan hari lain sebagai kompensasi.
Jika anak tidak setuju jadwal yang Anda tawarkan, tanyakan kepadanya hari apa yang dianggapnya paling baik untuk bertemu.
Setelah mendapat kesepakatan, mintalah persetujuan dari mantan Anda alias ayah atau ibu yang memegang hak asuh anak.
Penting bagi anak untuk tahu bahwa salah satu orangtuanya yang pergi meninggalkan rumah, menganggap pertemuan dengannya sebagai hal yang super penting.
6. Ciptakan dukungan lingkungan yang kuat
Bekerjasamalah dengan orang dewasa lain yang peduli dengan anak Anda dalam pengasuhan sehari-hari. Terutama, di saat suasana masih 'panas' dan anak masih terguncang.
Kehadiran mereka akan menambal peran orangtua yang 'hilang' dalam keseharian anak. Plus membantu Anda melewati masa duka.
7. Jangan bertengkar di depan anak
Penelitian membuktikan, anak yang melihat langsung pertengkaran orangtua akan lebih sulit beradaptasi dengan kondisi baru, dibanding anak yang orangtuanya yang tidak berkelahi di depan mereka.
8. Transisi dengan damai
Meski orangtua sudah menjaga agar anak tidak tahu konflik ayah dan ibunya, anak tetap bisa merasakan suasana kaku dan tegang di antara kedua orangtua.
Survei di Amerika Serikat menemukan, cukup banyak ayah-ayah yang bercerai akhirnya memutuskan untuk tidak menemui anaknya karena enggan bertemu mantan istri yang dianggap bersikap sinis.
Harusnya, setelah resmi bercerai, kedua orangtua sama-sama berusaha mendinginkan emosi.
Tidak perlu berteman baik jika memang tidak bisa, cukup bersikap rasional dan tenang ketika mantan datang ke rumah untuk menjemput anak kalian.
Jika suasana tak mudah diredakan, ada baiknya sang ayah menjemput anak di tempat netral seperti sekolah atau restoran. Sementara, ibu menunggu di mobil sampai anak pergi bersama ayahnya.
9. Ucapkan salam dengan senyum
Jangan tunjukkan muka masam saat anak pergi bersenang-senang dengan mantan.
Jika anak tahu kedua orangtuanya bermusuhan, dia akan bingung dan merasa bersalah karena melakukan yang seharusnya tak mereka lakukan.
Tersenyumlah ketika anak dijemput mantan Anda, ucapkan 'sampai bertemu lagi', tanpa cemberut atau air mata berderai-derai. Ini agar anak mendapat lingkungan yang stabil bersama kedua orangtuanya.
Lingkungan yang stabil sangat diperlukan untuk tumbuh kembang mereka.
Baca Juga : Dokumen Rahasia Mengungkap, Militer Israel Tidak Siap untuk Berperang