Melalui pintu di tengah yang sepanjang hari terpentang, kita masuk ke sebuah ruangan yang di kiri-kanannya terdapat jajaran kamar-kamar tidur.
Baca Juga : Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (1): 'Biar Saya yang Pertanggungjawabkan di Akhirat'
Ruang ini menuju ke serambi belakang yang lebih lebar dari serambi depan. Kebanyakan orang duduk-duduk di sini. Meja makan pun diletakkan di sini.
Serambi ini menghadap ke kebun belakang yang ketiga sisinya dikelilingi bangunan. Ada bangunan tempaat tinggal para pembantu bersama keluarganya, ada dapur dan gudang, ada kamar mandi dan istal.
Ada lagi bangunan tambahan yang disebut paviliun untuk tamu menginap. Supaya terasa sejuk, lantai rumah yang terbuat dari marmer tidak diberi karpet. Tempat duduk pun dibuat dari kayu dan anyaman rotan, bukan dari bludru.
Demi kesejukan pula, di sini orang sudan bangun pukul setengah enam atau paling lambat pukul enam pagi. Siang hari, saat sedang panas-panasnya, orang sembunyi di kamar untuk tidur.
Baca Juga : (Jakarta 488 Tahun) Sejarah Tempat di Jakarta: Begini Cara Orang Betawi Doelo Menamai Tempat
Mandi beberapa kali sehari adalah keharusan. Kalau tidak mandi, artinya tidak sopan. Mandi di Hindia berbeda dengan mandi di Eropa.
Kita mengguyur badan dengan bergayung-gayung air. Memang suatu kenikmatan buat jiwa dan raga. Kamar mandinya besar dan sejuk, terpisah dari bangunan utama.
Celana monyet
Seperti halnya dengan rumah, pakaian Eropa memang menyiksa di daerah tropis. Hal ini saya sadari setelah dua minggu di sini.
Saya jadi mengerti mengapa mereka memakai pakaian longgar, dan tipis gaya pakaian penduduk asli yang dimodifikasi itu. Walaupun aneh, tapi sejuk.
Harus diakui bahwa dengan pakaian itu orang-orang Belanda di Hindia lebih sehat daripada orang-orang Inggris yang mempertahankan pakaian Eropa di koloni mereka.
Baca Juga : Jakarta Diprediksi Jadi Kota Pertama di Dunia yang akan Tenggelam, Begini Penjelasannya
Anak-anak orang Belanda di Hindia. lebih terbuka lagi pakaiannya. Mereka mengenakan pakaian yang disebut penduduk Melayu celana monyet.
Pakaian yang cuma sepotong itu tidak cukup untuk menutupi badan. Leher, lengan, dan tungkai dibiarkan telanjang. Walaupun jelek, anak-anak senang memakainya.
Anak-anak Hindia tidak terpisahkan dari babu. Pengasuh pribumi itu pelindung jiwaraga si anak, seakan-akan malaikat pelindung saja. Sepanjang hari babu menggendong anak asuhannya dengan selendang.
Babu bahkan tidak mengizinkan ibu si anak mengambil anak itu daripadanya. Dialah yang menyuapi, memandikan, mendandani, mengajak berjalan-jalan, dan selalu siap mendekap si anak supaya merasa aman.
Ia mengajak anak asuhannya bermain bukan karena kewajiban, tetapi karena ia memang menikmatinya.
Di dalam hatinya ia masih seorang anak. Kadang-kadang mereka bertengkar. Si anak membanting-banting kaki dan si babu memarahi, "Terlalu!"
Malam hari ia mengeloni si kecil sambil meninabobokannya dengan melodi berkunci minor yang monoton.
Setelah anak-asuhannya terlelap, ia menggelar tikar di depan ranjang dan rebah menjaga majikan kecilnya dengan setia.
Baca Juga : Potret Perjuangan Pasukan Oranye: Berjibaku Dengan Sampah, Demi Kali Jakarta yang Indah
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR