Bagi orang Tionghoa, perdagangan adalah unsur di mana mereka hidup, bergerak, dan bereksistensi.
Dunia baginya adalah kesempatan luas untuk menghasilkan uang. Semua yang ada di dunia bisa diperdagangkan, dipakai mencari untung. Orang lain boleh rugi, mereka mesti untung.
Kebutuhan hidupnya sangat terbatas, modalnya juga, tetapi keyakinannya besar. Tidak heran kalau mereka sukses.
Baca Juga : Ulang Tahun Jakarta ke-490: Mengenang Si Pitung, Jagoan Betawi yang Bisa Menghilang
Mulai sebagai penjaja keliling
Ketika baru mendarat di Tanjungpriok, seorang Tionghoa biasanya mulai menjadi penjaja keliling. Dengan bertelanjang kaki ia menggendong buntelan berisi sabun, benang jahit, sisir, dan korek api.
Beberapa bulan kemudian, kita akan melihatnya di halaman rumah kita, dikelilingi seluruh pembantu rumah tangga kita. Saat itu ia sudah berjualan sarung dan cita.
Setahun berlalu. Kita melihatnya berjalan diikuti seorang kuli yang memikul barang-barang banyak sekali. Dengan sopan ia akan menawarkan barang-barang itu kepada kita.
Kalau kita sabar sedikit mengikutinya, kita akan sempat melihat ia membuka warung kecil yang cuma dilengkapi sebuah bangku dan sepotong kaca di dinding. Sementara itu di sekelilingnya ada segala macam barang dagangan.
Baca Juga : Bubur Ase Khas Betawi
la tidak puas hanya dengan memiliki waning. Beberapa tahun kemudian dia sudah berdiri di belakang gerai sebuah toko di Pecinan.
Kalau kita sempaf memandang istrinya sekilas, kita akan heran melihat betapa besarnya intan-intan di tusuk sanggul wanita itu. Si penjaja keliling sudah merintis jalan ke kemakmuran sekarang.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR