Semua diberi bumbu yang baunya menyengat dan semua diberi cabai. Pokoknya, setiap hari koki mesti menyediakan sekitar 20 macam masakan. Mengherankan, perut pemakannya bisa tahan.
Anehnya lagi, semua itu dimakan dengan memakai sendok di tangan kanan dan garpu di tangan kiri! Masih ada lagi tumpukan pisang, manggis, nanas, rambutan, duku.
Nasi dan lauk-pauk ditumpukkan di piring saya. Langsung bibir saya gemetar kepedasan. Leher saya kebakaran sehingga mesti diguyur air. Sementara itu air mata saya bercucuran. Salah seorang yang merasa kasihan kepada saya menyarankan agar menaruh sedikit garam di lidah.
Saya menurut dan tak lama kemudian siksaan itu pun berakhir. Sambil terengah-engah, saya bersyukur karena saya masih hidup. Saya bersumpah tidak mau mencoba rijstafel lagi.
Baca Juga : HUT DKI Jakarta Ke-491: Kala Senayan Masih Jadi Kampung Betawi dan Tebet Masih Berupa Hutan Belukar
Namun, saya melanggar sumpah itu. Pengakuan ini saya nyatakan dengan bangga. Sekarang saya bisa makan nasi dan menyukainya.
Lain siang, lain malam
Selesai makan siang, saya diberi tahu bahwa sekarang saatnya untuk tidur siang. Mungkinkah makanan yang bermacam ragam dan pedas itu membuat orang jadi mengantuk? Ataukah suhu yang panas dan cahaya yang menyilaukan membuat orang ingin tidur? Apa pun alasannya, saya merasa senang bisa masuk ke kamar saya yang teduh dan sunyi.
Dinding kamar itu temboknya putih saja, tidak dilapisi kertas dinding. Langit-langitnya juga demikian. Lantainya ubin merah. Di tengah ada kursi-kursi dari anyaman rotan dan di bawahnya ada sebidang tikar anyaman.
Baca Juga : Ulang Tahun Jakarta ke-490: Mengenang Si Pitung, Jagoan Betawi yang Bisa Menghilang
Alangkah senangnya saya menyentuh lantai yang tidak berkarpet itu. Kaki terasa sejuk. Dinding yang tidak dilapisi apa-apa itu pun memberi rasa segar.
Tidur siang berlangsung sampai pukul empat sore. Setelah itu orang mulai berseliweran di muka jendela kamar saya. Handuk mereka berkibar sementara alas kakinya berbunyi saat beradu dengan lantai. Mereka bergegas ke kamar mandi.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR