Penelitiannya juga telah membantu para pemimpin militer untuk lebih jeli menangani risiko bunuh diri di korps mereka.
Meski begitu, ia selalu terganggu dengan kurangnya bukti kuat mengenai tanda-tanda peringatan yang telah menjadi bagian sentral dari kampanye pencegahan bunuh diri itu.
Dimulai pada akhir tahun 2015. Ia dan tim kecilnya menyematkan diri dengan sebuah kantor koroner di New Orleans.
Baca Juga : Jet Tempur Rusia Generasi Terbaru akan Dibekali Teknologi 'Pembunuh' F-22 dan F-35
Rajeev dan timnya berada di sana untuk mempelajari bunuh diri dari jarak yang sangat dekat, tidak dalam bentuk berkas medis dan file-file penuh coretan.
Di sana, mereka langsung berhadapan dengan orang-orang yang kehilangan orang terkasih akibat bunuh diri, mendengarkan cerita mereka, dan lain sebagainya.
Rajeev dan timnya mewawancarai keluarga dari 17 orang yang meninggal karena bunuh diri, melakukan apa yang digambarkan Rajeev sebagai otopsi psikologis.
Mereka bertanya tentang rutinitas sehari-hari, hubungan, masalah kesehatan dan keuangan, punya senjata atau tidak, atau yang lainnya.
Dari satu, ada satu pola yang jelas: tidak ditemukan tanda spesifik yang berkaitan dengan tanda-tanda orang akan melakukan bunuh diri.
Bukan berarti tanda-tanda peringatan itu tidak ada. Faktanya, sebagian besar orang akan mengurung diri, jadi cemas dan disorientasi, bilang bahwa tidak punya asalan untuk bertahan hidup, bahkan terang-terangan ingin bunuh diri.
Masalahnya, itu bukan perilaku dan tanda-tanda baru.
Penelitian Rajeev juga menemukan, lebih dari 2/3 orang memeliki penyakit mental yang terdiagnosis; lebih setengahnya menggunakan obat-obatan terlarang.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR