Untuk keperluan itu dibuatkanlah sebuah altar yang berada di bawah bendera Jepang. Di tempayan ditaruh kemenyan dan sake. Kemudian kaum pria menyanyikan lagu peperangan tradisional dengan mata terpejam.
Lagu itu untuk memanggil roh si mati. Akhirnya tulang belulang dimasukkan ke dalam karung goni dan dibawa ke ruang penyimpanan berbentuk lemari di kantor polisi Saipan.
Besoknya pencarian diteruskan di tempat lain. Setelah kira-kira sebulan, orang-orang Jepang itu berhasil mengumpulkan tulang belulang dari beberapa lusin korban yang siap diperabukan. Di dekat karang tempat bunuh diri dibangunlah tempat pembakaran.
Tulang belulang ditumpuk dan disirami minyak tanah: Dalam waktu tidak kurang dari satu jam, tulang belulang itu tinggal bongkahan-bongkahan kecil.
Baca Juga : Kisah 3 Tentara Jepang yang Ikut Berjuang Melawan Penjajah, Hingga Akhirnya Gugur di Tangan Belanda
Kalau bara api sudah mati, dicarilah dulu tulang kecil, yang menurut kepercayaan tidak bisa terbakar. Tulang itu disebut sebagai "tulang kerongkongan Buddha" dan dianggap membawa keberuntungan.
Sisa-sisa bagian tulang yang lain dimasukkan ke dalam kardus, yang akan dikuburkan di pemakaman para prajurit tak dikenal bersama sisa-sisa dan ribuan korban lain yang dibawa orang-orang Jepang kembali ke Tokyo.
Sejak tahun 1983 Kementerian Kesehatan Jepang membenkan dana untuk aksi membawa pulang sisa-sisa tulang belulang itu dan mengawasinya dengan ketat.
Soalnya, dulu petugas bea cukai pernah memergoki Yakusa, Mafia Jepang, menyalahgunakan kardus abu yang jarang diperiksa itu. Kardus-kardus itu dipakai sebagai tempat yang ideal untuk menyelundupkan senjata, yang merupakan barang terlarang di Jepang.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR