Advertorial
Intisari-Online.com – Dalam adat Jawa, ari-ari (plasenta) bayi baru lahir biasanya dipendam di tanah di samping kanan pintu masuk rumah, kemudian diberi penerangan dengan lampu setiap malam selama Selapan (35 hari).
Hal itu dilakukan karena ari-ari dipercaya sebagai saudara kembar jabang bayi.
Ketika saya bertugas melakukan survei di titik-titik sepanjang Sungai Bengawan Solo, saya menemukan budaya masyarakat yang menarik.
Saya bertemu serombongan orang yang berjalan beriringan menuju pinggiran sungai. Di dalam rombongan itu, terdapat seorang perempuan muda yang menggendong sesuatu.
Baca juga:Tak Hanya Diana, 4 Putri Bangsawan Ini Hidupnya Juga Berakhir dengan Tragis, Ada yang dari Indonesia
Para pengiringnya mengantarkan perempuan itu dengan menggunakan perahu kayu ke tengah sungai.
Begitu sampai di tengah sungai, perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari gendongannya, yang ternyata adalah sebuah kendil (periuk) dari tanah.
Kendil itu diletakkan dengan sangat hati-hati di permukaan air dan dibiarkan hanyut terbawa arus tanpa tenggelam.
Rupanya itu adalah tradisi labuh ari-ari. Mereka sengaja tidak memendam ari-ari di depan rumah tapi melabuhnya di sungai.
Baca juga:Drum Band Akmil dan Akpol Curi Perhatian di Penutupan Asian Games 2018, Ini Kumpulan Fotonya!
Alasannya, kalau ari-ari dipendam dan suatu saat mereka harus pindah rumah, mereka harus membawa tanah tempat ari-ari itu dipendam.
Lalu tanah itu harus disebarkan di rumah baru. Tentu merepotkan.
Lain halnya kalau mereka melabuh ari-ari. Ari-ari yang dilabuh akan hanyut sampai ke laut. Tugas menjaga "saudara kembar" pun selesai sampai di situ.
Jika mereka harus pindah rumah, mereka tidak perlu membawa tanah tempat ari-ari dipendam untuk disebarkan di rumah baru.
Tampaknya ini terkait dengan kondisi sosial geografis mereka, tinggal di pinggir Bengawan Solo yang sewaktu-waktu harus pindah rumah. (Rusdaryanto – Intisari Agustus 2009)
Baca juga:Makan Nasi Bersama Mi Instan Akibatnya Bisa Sangat Berbahaya, Jangan Pernah Melakukannya Lagi