“Saya tak ingin mencontoh bagaimana orangtua saya membesarkan anak, meski hanya cara itulah yang saya ketahui,” imbuhnya seraya meyakinkan semua orang betapa ia ingin jadi teladan untuk kedua buah hatinya.
Seolah tak cukup berat membesarkan dua anak sendiri, Aydin juga kerap menghadapi ejekan orang-orang dari komunitas imigran Turki.
“Itu pekerjaan perempuan,” kata mereka tiap melihatnya mengurus rumah atau mengantar anak ke sekolah. Inilah yang membuatnya sempat berpikir untuk memaksakan diri menikah lagi.
“Tapi saya menyadari bahwa anak-anak saya bukan membutuhkan ibu baru, melainkan seseorang yang bisa jadi segalanya; ayah, kepala keluarga, ibu, bahkan teman.”
Baca juga: Inilah 3 Sosok yang Mungkin Bisa Menyelamatkan Turki dari Donald Trump
“Sekolah” untuk lelaki
Imigran asal Turki adalah kelompok minoritas terbesar di Jerman. Dari sekitar 80 juta penduduk negara itu, 4% di antaranya berasal dari Turki.
“Sayangnya banyak orang Turki yang gegar budaya begitu tiba di sini,” kata Erdogan. Dan gegar budaya adalah pangkal hampir semua masalah kaum pendatang.
Tak mudah menjadi imigran. Tingkat stres yang tinggi, beban mencari nafkah, dan kerja keras beradaptasi dengan lingkungan baru membuat masalah psikologis kerap terabaikan.
Apalagi, “Orang Turki terkadang lebih sibuk membangun masjid dibanding membangun diri dan keluarga mereka,” sambung Erdogan. Padahal segala permasalahan sosial bisa dieliminasi melalui keluarga.
Baca juga: Diguncang Krisis Ekonomi, Turki Justru akan Luncurkan Helikopter Militer Super Canggih
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR