Dunia usaha memperoleh angka pasti, pengekspor memperoleh insentif, tapi orang awam tetap melihat dolar AS makin lama makin mahal.
Baca juga: Sudah Tak Ada Harganya, Uang Venezuela Diubah Jadi Barang Kerajinan sehingga Punya Nilai Lebih Mahal
Oktober 1997, rupiah terjun bebas
Sejak Oktober 1997, rupiah dibiarkan mengambang bebas (free floating) sesuai pasar. Benar saja, dolar AS naik dari Rp2.300,00, ke Rp3.100,00, ke Rp4.000,00, melompat ke Rp5.500,00, dan seterusnya.
Pengamat pasar uang Theo Francisco Toemion mengistilahkan “rupiah terjun bebas” karena depresiasi puluhan persen tak lagi dalam kurun tahunan atau bulanan, melainkan harian.
Puncaknya adalah ketika AS$1 bernilai Rp17.200, pada April 1998, berarti rupiah terdevaluasi 750% dalam setahun. Terbayang akibat kejutan ini, orang makan ayam goreng beserta kentang impor dan sayurannya harus membayar Rp100.000,00 walau jika didolarkan tak lebih dari AS$6.
Baca juga: Waspada Inflasi Jika Harga BBM Naik!
Jangankan kurs setinggi itu. Dengan nilai Rp11.000,-- saja tergambar carut-marutnya kebijakan keuangan kita, menyebabkan depresiasi 1.000 kali sejak 1952. Kalau sanering “seribu-seperak” 13 Desember 1965 dihitung, penurunannya terhadap dolar AS menjadi sangat absurd: sejuta kali alias 100.000.000%!
Kurs yang relatif stabil pada kisaran Rp7.500,00 per AS$1 sejak November 1998 memang memberi kepastian, walau kenaikan harga barang sampai tiga kali lipat tetap memilukan.
Memang, dengan turunnya nilai rupiah, para pengekspor seolah-olah memperoleh wind-fall. “Tapi itu hanya jangka pendek dan bukan cermin dari kekuatan sebenarnya,” kata Anggito Abimanyu, pengajar FE-UGM dan MM-UGM.
Ekspor adalah salah satu sektor ideal kalau kita ingin memperbaiki ekonomi. Yang tak kalah penting adalah perbankan dan pembenahan sektor riil. “Tapi sektor riil sekarang mati karena kebijakan suku bunga tinggi” tambah dokter ekonomi industri dan lingkungan lulusan University of Pennsylvania (1993) ini.
Baca juga: Merdeka! Gaji PNS Akhirnya Naik Lagi, Berikut Penjelasan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani
Anggito menunjuk contoh Filipina yang punya tradisi kemandirian bank sentral, sehingga dampak kritisnya tak separah Indonesia. “Di Malaysia, Australia, dan banyak negara lain bank sentral punya otoritas tinggi dalam mengawasi perbankan, serta menjaga stabilitas suku bunga dan mengontrol laju inflasi.
Segala langkah harus dilakukan secara serempak, namun harus sabar karena hasilnya tak bisa seketika.
Lagi pula, kita telah melihat bukti, langkah reaktif tak pernah membawa hasil dalam jangka panjang. Salah-salah justru kebijakan ekonomi berdampak langung pada pergantian kepemimpinan politik.
Soal ini, memang telah dua kali terjadi. Semoga tak berulang kembali.
Baca juga:Kelaparan, Rakyat Venezuela Serang dan Mutilasi Sapi dan Kucing yang Mereka Temukan
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR