Jadi nilai tukar rupiah dibuat mengambang secara terkendali atau istilahnya managed floating.
Orang miskin makin menjerit karen aharga barang langsung melonjak. Logam mulia naik dari Rp2.950,00 menjadi Rp4.500,00 segram. Harga bahan bangunan naik 30%, obat-obatan impor naik 25%, harga makanan naik 40%.
Daging sapi dari Rp1.350,00 menjadi Rp1.650,00 per kg. Telur ayam negeri berubah dari Rp524,00 menjadi Rp700,00 per kg.
Baca juga: Pernah Jadi Negara Kaya, Venezuela Bangkrut Karena Terlalu Baik pada Rakyatnya
29 Maret 1983
Rupiah didevaluasikan lagi. Harga beli satu dolar AS, dari Rp700,00 naik menjadi Rp970,00 (kurs tengah). Nilai tukar rupiah tetap dibuat mengambang secara terkendali, seperti halnya kebijakan pasca Kenop 15, dalam jangka panjang tetap tak bisa dikendalikan.
Dolar AS menyodok ke angka Rp1.000,00-an terus naik dan tidak turun lagi. Karena impor kita berkisar 30 – 40%, kenaikan harga pun dalam kisaran persentase itu.
Pakto 88, Oktober 1988
Baca juga: Ngerinya Krisis di Venezuela, Harga Daging 9,5 Juta, Popok 8 Juta
Pakto 88, kependekan dari Paket Oktober 1988, berupa deregulasi perbankan dan upaya peningkatan kegairahan berinvestasi, dalam jangka pendek berhasil mendongkrak pertumbuhan.
Namun, rakyat kebanyakan hanya bisa menyimpulkan deregulasi tak lebih dari pengukuhan kejutan keuangan dua tahun sebelumnya, saat dolar AS melonjak ke angka Rp1.600,00-an.
Sejalan dengan kebijakan mengambangkan rupiah secara terkendali (managed floating), pemerintah menetapkan depresiasi tahunan sebagai pengganti devaluasi yang makin terasa sebagai “hantu”. Angkanya berkisar 5% - 7% per tahun.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR