Kasus yang menimpa anak yang masih kelas 6 SD tahun 2017 di Denpasar misalnya, ia harus menahan malu akibat dihamili oleh seorang pemuda yang baru dikenal di medsos.
“Jadi ada kasus yang baru kenal seminggu di media sosial, ketemu terus dipaksa berhubungan, dan akhirnya hamil. Jadi penyebabnya salah satu karena media sosial juga,” ungkap perempuan asal Buleleng ini.
Baca juga: Video Mendebarkan Ketika Ayah dan Anak Ini Mencoba Melarikan Diri dari Kebakaran Hutan
Korban disabilitas
Anggreni juga mengungkap bahwa trend kasus kekerasan seksual saat ini justru lebih banyak terjadi pada anak-anak atau perempuan yang mengalami disabilitas atau gangguan psikologis.
Meskipun usia wanita tersebut sudah tergolong dewasa, namun menurut Anggreni sebetulnya psikologis wanita tersebut masih anak-anak lantaran mengalami gangguan mental.
“Untuk korban yang disabilitas ini banyak sekali terjadi di Bali. Terkadang sampai diperkosa berkali-kali, sampai tidak diketahui siapa orang yang menghamili korbannya. Di sana kadang polisi kebingungan biasanya,” ungkap Anggreni.
Selain itu, dalam beberapa kasus juga sempat ada pelaku kekerasan seksual pada anak justru dari panti tempat si anak dititipkan.
Sempat terjadi kasus ternyata dalam sebuah panti ada keluarga pemilik panti yang malah menjadikan anak asuh sebagai obyek pelampiasan seksual.
“Jadi si anak bukannya mendapatkan pertolongan, malah mendapatkan kekerasan,” ungkap Anggreni.
Selama mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan seksual, lanjut Anggreni, para pelaku juga kerap membela diri dengan dalih suka sama suka.
Namun dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undangan nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa meskipun suka sama suka, apabila korban adalah anak, pelaku tetap dikenakan hukuman minimal 5 tahun penjara, atau maksimal 15 tahun penjara.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR