Di Kamar Pengabadian itulah Kartini dulu bekerja dan terbaring hingga mengembuskan napas terakhir. Sayang, tempat tidur yang digunakan ketika ia melahirkan putra tunggalnya, R.M. Soesalit, dan tempatnya terbaring melawan maut, sudah tak ada lagi. Konon, tempat tidur kuningan besar itu sudah dijual oleh Bupati R.M.T. Abdul Karnain Djojoadiningrat (pengganti R.A. Djojoadiningrat – suami Kartini) ketika akan pindah ke Solo tahun 1943.
Tapi, dua buah sketsel (schudsel) atau penyekat ruang yang dulu dipakai untuk "memingit": Kartini cs. di rumah Jepara masih utuh berdiri; di pendopo Kabupaten Rembang. Setelah Kartini menikah, sketsel berukir indah dan berlubahg-lubang itu diboyong bersama benda-benda lain miliknya ke Rembang, tempat tinggalnya yang baru.
Aling-aling berukir itu memang tak lagi berfungsi seperti sediakala. Benda-benda indah itu kini justru membawa ingatan kita kepada kebanggaan dan perhatian Kartini terhadap seni ukir Jepara yang adiluhung.
Meski tidak begitu menonjol, "Kartini punya perhatian pada seni kerajinan ukir kayu seperti dikatakah dalam suratnya. Boleh dibilang tiap bulan ia mengirimkan beberapa pesanan kepada Perkumpulan Oost erf West di Belanda. Ia menjadi semacam koordinator para pengrajin, di samping ia sendiri juga mendisain model-model pesanan berikut motif ukirannya. Misalnya saja mendisain kotak penyimpan perhiasan," kata Sulastin.
Kekagumannya terhadap seni ukir Jawa, terutama hasil para seniman ukir berbakat. dari desa "belakang gunung", antara lain tertuang dalam surat tertanggal 20 Agustus 1902 kepada Ny. N. van Kol: "... melihat pembuatnya yang amat sangaf sederhana serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja juga amat sangat bersahaja, maka hampir-hampir tumbuh rasa normal dan kagum sedalam-dalamnya terhadap, hasil seninya ... orang di sini berhadapan dengan seorang seniman sejati. Suatu ketika ... kami bertanya kepada pembuatnya: Hai Pak dari manakah segala keindahan itu Bapak ambil? ... dengan sederhana ia menjawab: Dari hati saya bendoro!"
Dengan caranya sendiri Kartini menjadikan dirinya sebagai propagandis yang gigih bagi barang-barang seni ukir Jepara. Namun, tujuan utamanya tidak lain adalah ingin meningkatkan taraf hidup para pengrajin.
Meski telah menghasilkan benda-benda seni yang bermutu, indah dan memiliki kepribadian sebagai bakat warisan turun-termurun, tapi keadaan mereka tetap saja memprihatinkan karena upah yang rendah.
Kartini pun tak ragu-ragu berkorespondensi, hanya untuk memberi tahu soal pesanan barang ukiran, misalnya surat tertanggal 31 Januari 1903 kepada E.C. Abendanon: "Hari ini suratnya harus selesai, sebab besok pos laut yang akan membawanya sudah tutup .... Meja kecil dan rak buku sudah saya pesankan kepada tukang ukir ... mejamu kami pesankan bersisi delapan, dan menurut pola batik jawa asli ... juga rak bukunya dibuat dari kayu sono (mengkilat gelap), kayu yang terbaik yang terdapat di sini ... sketsel yang belakangan kami kirimkan kepada gubernur jenderal bukan main eloknya ... kami memesan tabir api, sebuah di antaranya berdaun tiga berbentuk kulit kerang berlubang-lubang dan sebuah berbentuk garuda dengan sayap yang dapat dikepak-kepakkan.
Secara terus-menerus kami mendapat ilham-ilham baru ... kadang-kadang timbul pikiran baru kalau kami sudah berada di tempat tidur. Cepat-cepat kami turun ... mencatat pikiran itu ...."
Air susu kaleng dan ASI
Sebuah botekan berukir tempat menyimpan jamu tak pelak mengingatkan orang pada perhatian Kartini terhadap dunia kesehatan dan juga perawatan orang sakit. Langkanya tenaga dokter dan kenyataan akan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dunia kesehatan, mendorong Kartini berpikir untuk mencari jalan keluarnya.
Seperti diulis dalam suratnya (Januari 1903): "... amat banyaknya kekurangan pertolongan dokter di Hindia .... Aduhai! Tidak perlu demikian banyak jiwa melayang, bila dalam lingkungan yang dekat ada yang memiliki pengetahuan dasar kesehatan walaupun seorang ... Kepala-kepala bumiputra dapat mengajarkan pengetahuannya tentang kesehatan kepada kepala-kepala desa dan dengan demikian untuk sementara di desa sudah ada sesuatu ...."
Tak jelas apakah yang dimaksud dengan sesuatu itu ada kaitannya dengan ide pengadaan rumah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Tak jelas pula apakah bentuk puskesmas yang kini kita kenal itu juga berangkat dari ide Kartini.
Yang terang, Kartini menaruh perhatian cukup besar pada dunia kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk perlunya pengetahuan tentang obat dan jamu tradisional, ASI (air susu ibu), balut-membalut luka aiajarkan kepada para ibu.
Tentu, sebagai seorang wanita, kewajiban ibu menyusui bayinya – yang buat sebagian ibu-ibu zaman sekarang bisa berdampak "merusak" keindahan wadahnya - tak luput dari perhatiannya.
Sebab Kartini yakin, menurut Sulastin, melalui ASI hubungan batin yang akrab antara ibu dan anaknya makin terjalin. Untuk sementara waktu, ASI memang pernah dianggap merepotkan para ibu. Buntutnya, bayi-bayi yang mestinya bisa menikmati dekapan hangat ibunya harus puas dengan hanya menyedot ASKA (air susu kaleng).
Namun sebagai manusia biasa, Kartini tak dapat menangkal suratan tangannya sebagai wanita muda yang sering terserang penyakit. Dalam suratnya tertanggal 27 Juni 1903 kepada Dr. N. Adriani, dia menulis: "... Saya terserang oleh hampir semua penyaklt. Masuk angin, demam,
sdki't encok, pusing kepala dan akhirnya penyakit campak dan cacar ...." .
Tetap feminin
Tak pelak Kartini tetaplah wanita atau; perempuan yang feminin. Perilakunya penuh sentuhan kemanusiaan, perhatiannya sarat dengan sudut pandang kehalusan budi pekerti demi kebaikan nasib orang lain.
Kartini pun tak pernah merasa mentang-mentang dirinya berpandangan maju, lalu menyisihkan pekerjaan-pekerjaan wanita yang pantas ia lakukan. Kartini tetap Kartini, putri Indonesia yang sejati.
Wanita pemilik warung di Jepara itu boleh tak paham letak Museum Kartini. Museumnya bisa terabaikan. Tapi, jalan pikiran dan semangatnya, dilupakan jangan!
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR