Kota di tepi pantai utara Jawa berpenduduk lebih dari 750.000 jiwa itu sunyi. Museum Kartini pun dingin dan sepi. Kesepian terasa makin menggigit manakala rumput dan ilalang di sebagian halamannya menyubur.
Masih seperti kondisinya 10 tahun lalu, langit-langit bangunan museum membocorkan air hujan di sana-sini. Dinding-dinding nampak pucat, seperti lama tak terjamah kuas tukang cat.
Namun, tak berarti museum tersebut sama sekali dilupakan. Setiap bulannya rata-rata 5.000 orang dari segala pelosok tanah air berkunjung ke sana. "Bahkan jumlah pengunjung cenderung meningkat," kata pemandu museum.
Meski keadaan gedung museum yang dulu dibangun secara bertahap dengan dana banpres sebesar Rp25 juta itu rada memprihatinkan, toh pengunjung masih bisa napak tilas perjalanan hidup Kartini melalui foto-foto reproduksi yang dipajang di sana.
Juga lewat sejumlah koleksi benda peninggalannya yang berupa meja tulis, rak buku, vas bunga, dan botekan (tempat menyimpan jamu), meski cuma duplikatnya – kecuali mesin jahit, piring, dan beberapa lembar kain renda karya murid-murid Kartini.
"Benda-benda asli peninggalan Kartini lainnya sebagian tersimpan di Kamar Pengabadian di Gedung Kabupaten Rembang, tapi tak sedikit yang mengembara entah ke mana," kata pemandu museum.
Meja tulis yang asli misalnya, diketahui jatuh ke tangan keluarga R.M. Abdul Djalil di Kudus. Terakhir diketahui, meja itu akan dijual pemiliknya yang sudah renta dan sakit-sakitan seharga Rp 50 juta!
Abdul Djalil adalah cucu R.M. Soemodimedjo yang di zaman Kartini dulu jadi mantri di daerah Mayong, tempat lahir Kartini.
Baca Juga: Selain RA Kartini, Mari Berkenalan Dengan 6 Wanita Luar Biasa yang Ada di Seluruh Dunia
Benda-benda di museum itu mengusik kembali ingatan orang kepada kegiatan-kegiatan Kartini disebagian hidupnya. Rak buku dengan cat serba hitam itu misalnya, mengingatkan bahwa Kartini seorang kutu buku.
"Meskipun tidak boleh melanjutkan sekolah ke HBS, Kartini diizinkan membaca banyak buku yang dapat menambah wawasan dan pengetahuannya tentang kedudukan wanita dan segala peristiwa yang terjadi di dunia saat itu," hitur Prof. Dr. Sulastin Soetrisno, penerjemah buku-buku kumpulan surat-surat Kartini, dan guru besar luar biasa pada Fakultas Sastra UGM.
Memang, kalau membaca surat-suratnya, kita kagum akan bacaannya berupa buku-buku yang ditulis oleh para pengarang terkerial saat itu.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR