Peninggalan-peninggalan tertulis ini juga salah satu faktor penfing, kenapa di antara sekian banyak pejuang wanita yang dimiliki republik ini hanya Kartini yang sering dibicarakan.
"Selain Kartini selama ini tidak ada satu pun pejuang wanita yang meninggalkan bukti-bukti tulisan atau pokok-pokok pikirannya yang bisa dianalisis. Selama ini kita hanya mendengar kegigihan Cut Nyak Dhien melawan penjajah Belanda, atau perjuangan wanita Maluku Christina Martha Tiahahu. dll, tapi bukti-bukti tertulis dari mereka tidak ada."
Barangkali ini juga salah satu sebabnya kenapa kita hanya rnengenal Hari Kartini saja.
Memang sangat disayangkan, selama ini 155 surat-surat Kartini dari 246 surat yang dianalisis dan diterbitkan, hanyalah dokumen-dokumen yang disimpan sahabat Kartini di Belanda saja.
"Sebaliknya kita tak tahu balasan surat-surat mereka yang dikirimkan kepada Kartini. Kalau surat-surat balasan mereka juga didokumentasikan barangkali kita akan mendapat gambaran yang lebih seimbang tentang komentar-komentar Belanda sahabat Kartini tentang surat atau pribadi Kartini," tambah Ibu Mensos Soebadio.
Sisi lain yang menarik, menurut Haryati, adalah sosok Kartini sebagai wanita yang penuh konflik, namun tetap bisa melakukan tindakan yang kreatif dan positif. Sebagai wanita Jawa ia mampu mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya.
Misalnya, dengan menerima nasib jadi garwa padmi (permaisuri) bupati Rembang, tak bisa diartikan ia lantas menyetujui poligami. Karena dengan menjadi istri bupati ia bisa berbuat lebih banyak lagi untuk mewujudkan cita-citanya.
"Bisa dikatakan ia membuat keputusan yang tidak mengguncangkan pada zaman itu. Padahal kalau dilihat banyak juga wanita modern dan terpelajar kini yang masih saja bingung menggabungkan profesinya dengan kehidupan rumdh tangga sampai ada yang mengambil jalan keluar, berpisah dari suaminya."
Meski demikian Haryati juga menambahkan, bahwa pengertian emansipasi tak harus selalu diartikan kebebasan yang sama dengan pria dalam segala hal. Yang diperjuangkan Kartini adalah kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya bagi seluruh bangsa (dalam suratnya disebutkan Javanese) termasuk kaum wanitanya.
"Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana,wanita bisa jadi pilot pesawat pembom? Wanita itu 'kan kodratnya melahirkan anak .... Ini kok malah jadi pembunuh .... Aduh! .... Saya tak bisa menerima itu."
(Artikel ini pernah dimuat di majalah Intisari edisi April 1991)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR