Setelah dipertimbangkan dengan cermat, mereka menghilangkan selebaran-selebaran itu dan menggunakan untuk menyerang lawan.
“Setiap prajurit Jepang harus siap mati, tapi sebagai seorang perwira intelijen saya diperintahkan untuk melakukan gerilya, bukan untuk mati. Saya harus mengikuti perintah sendiri, sebagaimana saya adalah seorang prajurit,” ujar Onoda.
Tapi harapan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Pada 1950, salah seorang sahabat Onoda memutuskan menyerah, dan sahabat lainnya tertembak pada 1954.
Pengawal terakhirnya, Kinshichi Kozuka, juga berhasil ditembak polisi pada 1972 ketika ia dan Onoda tengah menyerbu toko beras di sebuah peternakan lokal.
Setelah itu, ia benar-benar sendirian—dan menjadi legenda di Pulau Lubang.
Kisahnya yang misterius menarik perhatian seorang petualang muda bernama Norio Suzuki—yang juga terobsesi dengan panda dan manusia salju.
Ia berangkat ke hutan Pulau Lubang untuk menemukan Letnan Onoda.
Hingga pada 20 Februari 1974, mereka berdua akhirnya bertemu di sebuah hutan di Pulau Lubang.
Dari Suzuki, Onoda tahu tahu bahwa negaranya benar-benar mengkhawatirkannya.
Tapi dengan tegas ia menolak untuk menyerah kecuali ada perintah dari atasannya langsung.
Suzuki kembali ke Jepang. Dengan bantuan salah seorang koleganya, ia mencari atasan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, yang sekarang telah menjadi laki sepuh-sepuh penunggu sebuah toko buku.
Pada 9 Maret 1974 Taniguchi terbang ke Lubang dan secara resmi membebasakan Onoda dari tugasnya. Itu 29 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR