Terpisah dari orangtua di usia belia dan menjalani pendidikan model asrama di bawah asuhan orang Belanda, sungguh tidak pernah dibayangkan ayah-ibunya. Ada kekhawatiran, Soegija menjadi kemlondo-londo (kebelanda-belandaan).
Informasi mengenai tingginya mutu pendidikan dan tidak ada pemaksaan agama dari gurunya di Wirogunan membuat Soegija bersikeras sekolah di Muntilan. Tekad sudah bulat. Hati kedua orangtuanya pun luluh. Soegija diperbolehkan sekolah di Muntilan, 35 km dari Yogyakarta. Pada 1896 di kota sejuk itu Pater van Lith merintis pendidikan bagi anak-anak pribumi.
Kendala iklim dan budaya
Bersama 54 teman seangkatannya Soegija masuk tahun 1909. Di asrama semula sangat menjaga jarak dengan teman-temannya. Bahkan dalam suatu pertengkaran hebat, Soegija mengumpat para pastor berkebangsaan Belanda setali tiga uang dengan orang-orang Belanda pada umumnya, yang datang hanya untuk mengeruk kekayaan Indonesia.
Pandangan nggebyah uyah (memukul rata) bahwa semua orang Belanda bermotif dagang dan orientasinya menguasai, berubah sejak ia tahu, para pastor itu tidak digaji. Para pastor pendidiknya itu tak jarang harus merelakan harta warisan dari keluarganya di Belanda untuk investasi sosial demi kebaikan, kelangsungan pendidikan, dan kebahagiaan anak-anak asuhnya di masa depan.
Suatu saat Soegija menyampaikan keinginan ikut pelajaran agama Katolik kepada Pater Mertens, SJ, pimpinan asrama. Bukan sebagai calon katekumen (magang baptis), melainkan sekadar ingin memperdalam pengetahuan tentang agama itu.
Alasan lain, ungkap Soegija, pengajaran agama merupakan fasilitas curra personalis (pendampingan pribadi) yang ditawarkan Kolese untuk membentuk siswa-siswa berkarakter.
Pater Mertens tidak langsung mengiakan, tapi menyarankan Soegija meminta izin pada orangtuanya. Saran serupa disampaikan Pater Mertens kala tiga bulan setelah mengikuti pelajaran agama, Soegija ingin menerima sakramen baptis. Atas keputusan ini, orangtuanya yang semula berselisih paham, akhirnya merestui.
Kedua orangtuanya bahkan menasihati agar Soegija berani memeluk risiko sebagai orang Katolik dan hidup selaras dengan keyakinan baru pilihannya. Soegija bahagia bukan kepalang. Ia dipermandikan dengan nama Albertus, 24 Desember 1910.
Source | : | intisari edisi desember 2003 |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR