Baca juga: Gunung Kawi si Gunung Hoki, Makam Keturunan Raja Mataram yang Selalu Jadi Tujuan Orang Ngalap Berkah
Kalau demikian halnya, maka apa yang diuraikan oleh dongeng-dongeng tersebut di atas benar semua! Tapi apakah benar bahwa "episode kotoran manusia" itu langsung menyebabkan bagian kota tadi memperoleh nama sedemikian?
Setelah perang selesai, Kompeni mulai lagi memperkuat pertahanannya yang dirasa masih lemah. Dalam laporan-laporan VOC sesudah tahun 1630 disebut-sebut tentang diperkuatnya benteng "Buren", yang letaknya di sudut paling luar sebelah Tenggara. Jadi benteng Hollandia kita sudah berganti nama menjadi benteng Buren.
Selanjutnya, pihak Kompeni mulai merasakan gerakan-gerakan berbahaya dari pihak Banten yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) . Karena itu maka bermunculanlah benteng-benteng di bagian Barat kota Batavia.
Sedangkan bagian Selatan kota mulai ditinggalkan dan benteng Buren dijadikan gudang peluru di bawah komandan Sersan Hendrik Maats-land. Dan dalam surat-surat VOC sesudah tahun 1656 disebut-sebut tentang sebuah gudang peluru di benteng Maatsland. Jadi untuk kesekian kalinya benteng Holandia berganti nama pula.
Baca juga: Diperintahkan Melobi Sultan Mataram, Utusan Belanda Ini Justru Harus Berakhir di Kandang Buaya
Sejak tahun 1665 benteng Maatsland dinyatakan berbahaya karena hampir runtuh, sehingga ditinggalkan sama sekali. Sementara itu bagian Selatan kota Batavia semakin ramai dengan bermunculannya rumah-rumah, warung-warung dan pabrik-pabrik arak milik Cina.
Dan bekas benteng Maatsland di sudut Tenggara tadi, karena letaknya yang tepat di belokan sungai, menjadi tempat orang-orang membuang sampah dan segala macam kotoran.
Waktu Camphuijs menjadi Gubernur Jendral, ia membeli tanah di bagian Tenggara kota Batavia termasuk di dalamnya bekas benteng kita. Ketika ia meninggal tahun 1695 daerah itu sudah berubah menjadi sebuah taman yang indah dengan rumah dan kebun luas disekelilingnya, kecuali reruntuhan benteng yang masih tetap seperti sediakala.
Rupanya Camphuijs menilai betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh benteng Maatsland itu dahulu sewaktu menghadapi serbuan Mataram, sehingga ia mengeluarkan peraturan yang melarang mengubah atau merombak reruntuhan benteng tadi.
Baca juga: Jejak Kerajaan Mataram Kuno Ditemukan di Kota Semarang
Puluhan tahun lamanya sesudah itu reruntuhan benteng tadi tetap dibiarkan. Beberapa orang pernah mencoba mengajukan permohonan untuk membeli dan merombak bekas benteng tadi, namun permohonan itu selalu ditolak.
Keadaan sedemikian baru berakhir pada tahun 1766. Waktu itu tanah di bagian Tenggara Batavia dibeli oleh Mr. Pieter Cornelis Hasselaar, yang waktu itu menjabat "Waterfiscaal". Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral tanggal 8 Juli 1766 ia mengajukan permohonan membenahi reruntuhan benteng di dekat tanah kediamannya.
Dalam suratnya itu antara lain ia memorhon agar " semua reruntuhan benteng, yang dulu bernama Maatsland, dan kini bernama Batenburg, yang juga dikenal sebagai Kota Tahi, yang selama ini tidak lain hanya menjadi sarang ular dan hewan-hewan kotor lainnya, untuk dibongkar dan dibersihkan".
Permohonannya ternyata dikabulkan dan sejak saat itu hilanglah bekas-bekas benteng yang begitu banyak meninggalkan riwayat tadi.
Dari surat Hasselaar itu juga kita mengetahui bahwa benteng .Holandia pada saat terakhirnya sebelum rata dengan tanah bernama Batenburg. Dan sekali lagi kita juga tahu bahwa tempat itu dikenal dengan julukan daerah sungai yang dibiarkan 'Kota Tahi".
Bahkan Dr. F. de Haan penyusun buku “Oud-Batavia” yang terkenal itu mengatakan bahwa pada tahun 1899 jalan di sebelah Barat (bekas) benteng Hollandia, yang bernama “Buiten Kaaimans Straat”, oleh penduduk disebut “Gang Tahi”.
Rupanya – dan ini boleh kita anggap sebagai kesimpulan – daerah sungai yang dibiarkan selama puluhan tahun berupa reruntuhan benteng itu menjadi tempat tumpukan segalam macam kotoran dan sampah.
Dan secara kebetulan bahwa sebelumnya di tempat itu terjadi “episode kotoran manusia” pada waktu terjadi serbuan tentara Mataram. Dan lahirlah kemudian julukan untuk bagian kota itu: Kota Tahi!
(Ditulis oleh A.S. Wibowo, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1976)
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR