Mortir tersebut beramunisi sulphuric fume dan diledakkan dengan listrik. Sebagai kelanjutan, pada gua terbesar diledakkan TNT sebanyak 850 pon dan ke dalam gua ditembakkan roket serta bazooka.
Dengan gempuran yang begitu hebat, pasukan Kazume yang semula berjumlah 12.000 orang itu pada tanggal 21 Juni tinggal tersisa 235 tentara. Dengan semangat banzai. Kazume memilih 109 perwira dan bawahan guna melakukan serangan kamikaze sambil mundur ke utara dengan harapan mendapat bantuan.
Baca juga: Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda
Sisa pasukan Jepang dapat dihancurkan oleh Batalion-1 Resimen Infanteri-162 di bawah pimpinan Mayor Benson.
Pimpinan tertinggi balatentara Jepang menyadari pentingnya Biak. Guna menolong Kazume, Komandan Gabungan Armada Pasifik Laksamana Soemu Toyoda mengirim bantuan 2.500 tentara dari Mindanao di bawah pimpinan Laksamana Madya Sikunju.
Bantuan ini tak pernah sampai ke tujuan karena terpukul patroli Sekutu. Selanjutnya direncanakan mengirim bantuan lebih lanjut, dengan penjelajah berat Yamato berukuran 72.800 ton yang dilengkapi meriam 18.1 inci dan didampingi kapal Musashi yang sekelas dengan Yamato.
Bantuan inipun gagal karena Armada ke V Sekutu telah mendekati kepulauan Mariana yang dipertahankan Jenderal Saito dengan 22.700 tentara. Mariana berhasil direbut Sekutu yang mengerahkan 120.000 tentara yang berintikan marinir.
Demikianlah sebagian dari drama pertempuran yang pernah "mampir" di bagian timur bumi Indonesia.
Kini Biak tinggal menjadi monumen yang selalu akan mengingatkan kepada masa lalu dan kerasnya peperangan. Di bagian lain dari Biak, di bukit karang yang lebih ke timur juga terdapat bekas bangunan militer milik Belanda yang terlibat dalam percaturan masa Trikora dulu.
Di punggung bukit karang tersebut kini masih berdiri sisa instalasi radar bekas milik Belanda. Radar inilah dulu yang pertama kali mendeteksi iringan kapal R.I. Macan Tutul di Teluk Aru. Selanjutnya terjadilah pertempuran Teluk Aru yang mengakibatkan gugurnya Komodor Josaphat Sudarso.
Jalan ke bekas instalasi radar itu, ketika saya ke sana terhalang oleh pohon tumbang hingga mobil tak dapat meneruskan perjalanan. Untuk mencapai tujuan, hams dengan jalan kaki seratus meter, kemudian mendaki bukit yang dikelilingi semak liar.
Baca juga: Tak Hanya dari Zaman Penjajah, Banjir Bahkan Sudah Melanda Jakarta Sejak Zaman Raja Purnawarman
Menurut keterangan Sdr. Djasman, sampai kini masih banyak turis Jepang yang berkunjung ke gua bekas pertahanan Jepang itu. Ketika saya berkunjung ke sana, pada seputar monumen juga masih nampak karangan bunga yang diletakkan oleh turis dari Jepang.
Di antara turis itu, ternyata ada salah-seorang bekas serdadu Jepang yang berhasil lolos dari neraka di Biak tempo hari. Ia masih dapat mengingat dengan jelas nama-nama teman sepasukannya, dan posisi di mana "kamar" Suzume.
Ketika memasuki gua itu, sang turis bekas serdadu Jepang itu hanya dapat menangis tersedu-sedu. (Erick Arhadita)
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR