Melihat keadaan ini, malamnya Jepang melakukan serangan gencar dengan penembakan mortir yang mengakibatkan ujung tombak pasukan Sekutu dapat disergap satuan tank Jepang hingga terpisah dari induknya.
Pertempuran ini sangat menentukan, karena lolosnya pasukan Sekutu berarti terancamnya lapangan terbang Mokmer. Jepang bertempur mati-matian, bahkan memaksakan pertempuran dengan jarak dekat.
Bukan saja senapan panjang ikut beraksi, tapi juga pestol, sangkur, pedang samurai bahkan dengan tangan kosong lewat teknik karate mereka.
Sebanyak 7 buah tank Jepang hancur dalam duel dengan tank Sherman milik Sekutu. Akhirnya Mokmer dapat dikuasai Sekutu. Tapi lapangan terbang itu belum lagi dapat digunakan, karena gangguan dari fihak Jepang masih terus berlangsung baik lewat tembakan mortir dari bukit di sebelah utara, maupun dengan serangan malam.
Berkali-kali Sekutu mencoba menyerbu pusat pertahanan Jepang di gua-gua itu, tapi selalu gagal.
Menemui jalan buntu, pimpinan pasukan Sekutu menunjuk Kolonel Harold Riegelmen seorang perwira menengah yang ahli dalam penggunaan bahan kimia untuk merencanakan serbuan ke pusat pertahanan Jepang.
Guna operasi ini, Riegelman merencanakan penggunaan alat penyembur api. Dalam pelaksanaan operasinya, anggota-anggota pasukan diharuskan membawa alat penyembur api seberat 60 pon, dan harus dapat mendekati mulut gua hingga jarak 7 meter.
Tindakan ini berhasil. Di bawah lindungan tembakan gencar, satuan penyembur api mengguyur gua dengan harapan tentara Jepang akan lari meninggalkan gua. Di sisi lain telah menunggu pasukan penyergap.
Tapi ternyata Jepang tetap bertahan di dalam gua yang berliku-liku itu. Bagian lain dari gua masih dapat digunakan untuk berlindung dari penyembur apinya Riegelman.
Akhimya ditempuh jalan terakhir dengan menuangkan bensin secara besar-besaran ke dalam gua. Setelah bensin tertuang, ke mulut gua dilemparkan bom phospor hingga bensin terbakar. Belum cukup sampai di situ, ke dalam gua diturunkan pula mortir 4.2 dengan tambang.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR