Baca juga: Candi-Candi Padanglawas, Bukti Penjajahan Majapahit di Tapanuli
Suara hiruk pikuk segera terjadi. Binatang-binatan keluar dari tempat persembunyiannya, terutama kijang, dan mulailah alang-alang dan rumpun-rumpun dibakar. Binatang-binatang segera lari bertemperasan menuju ke tempat-tempat terbuka, di mana ujung-ujung tombak dan ujung-ujung anak panah telah menanti.
Perburuan berhasil dengan baik, binatang-binatang bergelimpangan mati dan kepuasan anggotaanggota rombongan terpenuhi. Rombongan karavan bergerak kembali perlahan-lahan, meninggalkan padang alang-alang, rumpun-rumpun, dan hutan-hutang hangus terbakar menyedihkan.
Tujuan perjalanan
Kalau boleh meminjam istilah yang populer dewasa ini, maka tujuan utama perjalanan sang raja beserta rombongan ke segenap pelosok Jawa Timur itu ialah untuk “turba”.
Baca juga: Membaca Nasib Majapahit dari Lereng Kelud
Letak ibukota Majapahit sebagai pusat pemerintahan ada di pedalaman. Daerah-daerah kekuasaannya yang terpencar diperintah oleh para Gubernur atau Adipati, yang bertindak sebagai wakil raja di daerahnya masing-masing.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa para Adipati itu setiap kali harus datang menghadap ke Ibukota, baik dalam upacara-upacara resmi yang secara berkala diadakan, maupun pada waktu mengantarkan upeti-upeti atau persembahan-persembahan.
Hadir atau tidaknya para Adipati dalam acara-acara tersebut menjadi barometer kesetiaan (daerah yang dipimpin) mereka.
Untuk mencapai Ibukota tentunya akan memakan waktu berhari-hari, baik perjalanan itu dilakukan melalui darat maupun melalui sungai-sungai. Dengan demikian maka upeti-upeti ataupun persembahan-persembahan yang dibawa tidaklah mungkin sebanyak yang diharapkan; apalagi sebagai suatu Negeri yang agraris, upeti-upeti itu tentunya “in natura”.
Baca juga: Cerita Majapahit Sudah Salah Kaprah
Gajah Mada sebagai pelaksana tampuk pemerintahan menyadari hal tersebut. Untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharap-harapkan baik di pihak para Adipati maupun di pihak Pemerintah Pusat, dilakukanlah perjalanan turba itu.
Upeti-upeti atau persembahan-persembahan yang biasanya di antara ke Ibukota, dapat dipungut di sepanjang perjalanan; inilah sebabnya kelompok Gajah Mada membawa kendaraan dengan jumlah paling besar, guna memuat semua upeti-upeti dan persembahan-persembahan tersebut.
Pejabat-pejabat kerajaan yang lain dapat melakukan inspeksi menurut bidangnya masing-masing. Pejabat-pejabat keagamaan melakukan kontrol terhadap wakaf=wakaf keagamaan yang bertugas menurus bangunan-bangunan suci kerajaan.
Begitu pula para anggota-anggota keluarga kerajaan mempunyai kesempatan untuk melakukan ziarah ke candi-candi tempat pemakaman para nenek moyang kerajaan.
Baca juga: 640 Tahun Terlambat ‘Menyusul’ Rombongan Hayam Wuruk yang Tengah Pesiar
Akan tetapi lebih penting dari itu ialah: Anggota keluarga kerajaan dan pejabat-pejabat pemerintahan dapat secara langsung melihat kehidupan rakyat jelata di desa-desa, rakyat pun dengan demikian merasa memperoleh berkah karena sang Raja yang dicintainya sudi berkunjung ke tempat mereka.
Dengan kata-kata singkat, perjalanan turba ini sekaligus telah menyelesaikan beberapa pekerjaan dan tugas-tugas penting.
Setibanya di tempat tujuan terakhir, rombongan disambut dengan segala kebesaran, upeti-upeti diserahkan, persembahan-persembahan dihaturkan, dan pesta pun diselenggarakan guna menghormat sang raja.
Sesudahnya rombongan “dibubarkan” untuk kemudian berkumpul kembali pada waktu yang telah ditetapkan guna kembali ke Ibukota.
Baca juga: Bunyi Teks d Kitab Negarakertagama Inilah yang Jadi Bukti Mahapatih Gajah Mada Tidak Beragama Islam
Dan dalam perjalanan kembali ke Ibukota, yang mengambil rute lain daripada ketika berangkat, terulanglah kembali apa-apa yagn pernah dialami ketika berangkat.
Hiruk pikuk ketika berkumpul untuk berangkat, tugas-tugas yang harus dijalankan di sepanjang jalan, gerak iring-iringan yang lambat, kepenatan dan kelesuan yang diseleng dengan macam-macam intermeso, macam-macam ekses yang timbul selama perjalanan, hingga akhirnya tiba kembali di Ibukota dengan selamat.
Bagi mereka yang menyukai perjalanan ini tentunya mengharap lekasnya datang masa perjalanan berikutnya. Sedangkan mereka yang tidak menyukainya, mungkin dalam hati bertanya: Kapan semuanya ini akan berakhir?
Baca juga: Pertumpahan Darah di Kerajaan Mataram Gara-gara Bapak dan Anak Jatuh Cinta Pada Wanita yang Sama
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR