Rupa-rupanya kejadian serupa itu terjadi, berulang-ulang selama perjalanan, sehingga sang raja Hayam Wuruk sendiri terpaksa “turun tangan". Suatu ketika sang raja berpidato dihadapan para peserta rombongan, yang isinya merupakan wejangan dan petunjuk mengenai akhlak yang baik.
Pernah pula sekali kejadian sebagai berikut: Karavan sampai disuatu daerah yang agak jauh dari pedusunan. Hari telah menunjukkan waktu sandhyakala, waktu untuk berhenti istirahat sementara. Akan tetapi senja itu matahari tertutup oleh awan, dan hal itu merupakan pertanda tidak baik untuk malam yang bakal mendatang.
Baca juga: Jangan Salah, Peninggalan Majapahit Tak Hanya di Jawa, di Tapanuli pun Ada
Sang Pendeta Arya Mahadhikara memutuskan agar iring-iringan berkemah dan menginap ditempat itu juga. Timbullah masalah yang rumit.
Persediaan makanan dan minuman jelas tidak memcukupi, letak rumah-rumah penduduk terlalu jauh disekitarnya, dan tempatnya pun kurang cocok untuk bermalam, begitupula anggota-anggota rombongan yang biasa binal menjarah ke desa-desa telah habis “dikuliahi" sang raja sebelumnya.
Namun putusan sang Pendeta adalah mutlak! Keadaan segera diatur seperlunya; kelompok demi kelompok dicarikan tempat yang sesuai. Ada yang tetap tidur dikereta, ada yang menggeletak dibawah pedati dan ada pula yang berbaring diudara terbuka.
Ketika malam mulai mendatang, terdengar kentongan dipalu sahut-menyahut di kejauhan dengan irama yang tertentu dan sama. Suatu ciri khas kepribadian Indonesia pula: salah seorang penduduk rupanya ada yang melihat peristiwa itu dari kejauhan.
Baca juga: Cing Cing Goling, Upacara Adat Gunung Kidul yang Terinspirasi dari Kisah Pelarian Prajurit Majapahit
Segera ia memiberitahukan orang-orang didesanya dengan perantaraan kentongan, Dan berduyun-duyunlah para penduduk didesa-desa yang letaknya jauh terpencar disekitar situ menuju ketempat perkemahan rombongaan karavan kerajaan; ada yang membawa buah-buahan, makanan, minuman dan Iain sebagainya untuk… dijual!
Dan di tengah-tengah perkemahan yang mula-mula sunyi, yang dikelilingi oleh hutan=hutan sunyi pula, terjadilah semacam pasar malam, yang baru berakhir setelah hampir menjelang pagi.
Eksea lainnya lagi yang timbul ialah akibat dari kegemaran bangsawan-bangsawan anggota rombongan akan bertooru; berburu sebagai semacam intermeso dari kepenatan sebagai akibat lambatnya karavan bergerak, dapatlah dimengerti.
Hanya “warisan" yang mereka tinggalkan yang sungguh menyedihkan. Barisan-barisan pengawal dikerahkan sambil membawa kentongan atau bunyi-bunyian serta tabuh-tabuhan lainnya, menyebar di hutan-hutan sambii membunyikan alat-alatnya masing-masing.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR