Intisari-Online.com – Kalau kita berdiri dengan tenang di depan Stadhuis (Balai Kota) kemudian memandang ke arah di mana dahulu berdiri kastil Batavia yang didirikan oleh Coen, seolah-olah masih terngiang di telinga kita bunyi dentang 'lontjeng kuwasa' ", demikian antara lain tulis de Haan dalam bukunya yang terkenal Oud-Batavia.
Memang genta yang dipasang pada menara bagian Selatan kastil Batavia dahulu diberi julukan "lonceng kuasa" oleh penduduk, karena benda itu seolah-olah menentukan kehidupan mereka di sekitar kota.
Lonceng itu berdentang tidak hanya untuk menunjukkan waktu akan tetapi juga bila ada hal-hal lain: pengumuman-pengumuman baru, pemasangan plakat yang berisi peraturan-peraturan baru atau bila akan dilakukan eksekusi terhadap seorang terhukum kelas berat.
Dan beredarlah ceritera-ceritera ngeri mengenai cara melaksanakan hukuman tadi.
Hukuman dera dengan cambuk rotan atau cambuk bergerigi adalah soal biasa yang dapat disaksikan penduduk hampir setiap hari.
Akan tetapi kalau ada seorang terhukum yang diharuskan duduk di atas kuda-kudaan dari kayu dengan pelananya diberi paku-paku, benar-benar sukar dibayangkan kengeriannya.
Hukuman mati dengan cara dipenggal lehernya atau digantung juga masih soal biasa. Namun ketika J.P. Coen menjadi Gubernur Jendral, jenazah si terhukum tadi masih dikenai hukuman pula.
Dr. R.A.M. Bergman yang melakukan penelitian khusus mengenai segala kegiatan Coen dalam soal-soal hukum (yang maksudnya akan diterbitkan tahun 1929 pada saat peringatan 300 tahun tewasnya Coen, tetapi ternyata baru terbit tahun 1932) mengatakan bahwa Coen sangat benci terhadap kejahatan yang menyangkut soal seks.
Baca juga: Kahiyang Ayu Melahirkan: Ini Kisaran Biaya Operasi Caesar di RSIA YPK Mandiri
Segala kejahatan di bidang seks, terutama homoseksual, diancam dengan hukuman mati, kemudian jenazah si terhukum dibakar dan abunya dibuang (" De homosexueelen worden gestraft met den dood, daarna verbrand en hun asch verstrooid ").
Di atas adalah beberapa contoh cara pelaksanaan hukuman oleh pihak Kompeni terhadap penduduk ataupun penghuni Batavia lainnya.
Bila kita mengunjungi Museum Fatahillah di Jakarta sekarang, maka menyaksikan penjara-penjara di bawah tanah yang ada dalam museum itu masih dapat kita rasakan sedikit kengerian tadi.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR