Baca juga: Menjadi Bagian Ritual Pengorbanan Suku Inca, 2 Mumi Gadis Ini Ditemukan Kenakan Gaun Beracun
Sementara, secara tak resmi, Bupati ditugaskan untuk memperlambat arus haji.
Pada 1859, kebijakan kolonial berubah lagi. Jemaah calon haji yang akan bertolak ke Tanah Suci harus melapor kepada bupati terkait dan menunjukkan uang yang cukup untuk membiayai perjalanan dan kehidupan keluarganya di rumah.
Hal itu menjadi syarat untuk mendapatkan paspor.
Baca juga: Temukan Bongkahan Emas Senilai Rp950 Juta, Pria Ini Beberkan Cara untuk Mendapatkannya!
Syarat kedua, setelah jemaah haji kembali, ia harus menghadap Bupati lagi untuk menunjukkan bahwa dirinya telah ke Mekkah.
Jika tidak, akan dikenakan denda sebesar 25-100 gulden dan tidak diperbolehkan menyandang gelar haji.
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh kolonial ini seringkali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Calon jemaah haji kadang diberikan kelonggaran.
Perjalanan laut
Pada masa ini, berlayar dari Indonesia menuju Arab Saudi membutuhkan waktu sekitar enam bulan.
Kondisi jemaah calon haji dalam kapal sangat memprihatinkan karena mereka menggunakan kapal barang (kargo) bukan kapal penumpang.
Jemaah calon haji diberikan tempat khusus dalam ruang gudang (palka) dengan masing-masing berukuran 1-1,5 meter persegi.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR