Intisari-Online.com – Melihat musibah Superjet 100 Sukhoi 9 Mei 2012, dan mungkin juga Fokker 27 pada 21 Juni 2012, seorang tokoh penerbangan yang amat tergugah adalah Presiden Ketiga RI dan pakar penerbangan, BJ Habibie.
Habibie menjadi generasi pertama orang muda Indonesia Merdeka yang bersekolah ke luar negeri untuk mendalami teknologi kedirgantaraan.
Sebagai pakar aeronatika, Habibie melihat Sukhoi sebagai pesawat yang desainnya bagus. Hanya saja diluar kemutakhiran teknologi yang dikandungnya, pesawat mengalami musibah justru ketika sedang dipasarkan di negara-negara yang oleh pembuatnya dilihat potensial sebagai pembeli.
(Ini Kelebihan Pesawat Baru Racikan Habibie)
“Sayang, ia peg (sial, kurang beruntung),” Ujar Habibie.
Habibie juga mengenang kembali, Indonesia sekarang ini kemungkinan sudah punya pesawat jet berkapasitas 100 penumpang seperti Superjet Sukhoi -2130, seandainya saja Indonesia tidak terlanda krisis dan tidak terkena kungkungan Dana Moneter Internasional (IMF) di paruh kedua dekade 1990-an.
Seperti yang kita ketahui, sebelum N-2130, program PT DI lain yang juga mendapat banyak perhatian adalah N-250, yang terbang pertama kali menjelang Peringatan Emas Kemerdekaan RI pada 10 Agustus 1995.
(R80 Rancangan Habibie Masuk Proyek Strategis Nasional Indonesia Siap Kurangi Impor Pesawat)
Secara penampilan fisik, N-250 mirip dengan pesawat ATR-72, namun sayang, N-250 yang telah menelan biaya ratusan juta dolar berhenti sebagai prototipe (purwarupa), lalu menjadi semacam besi tua.
Nasib dari N-2130 lebih dini pupus. Setelah IMF melarang pengucuran dana untuk PT DI, program N-2130 yang sahamnya sempat dijual ke sejumlah kalangan masyarakat waktu itu kemudian juga lenyap tertelan bumi.
Padahal, jet regional berkapasitas 100-an penumpang sekarang ini amatlah laris.
Melihat peluang yang lepas, Habibie tampak belum mau patah semangat. Habibie terus mengupayakan skema baru untuk menghidupkan industri kedirgantaraan nasional.
Penulis | : | Andrew Bari Dianto |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR